Jakarta, CNN Indonesia -- Negara-negara anggota Interpol mewacanakan saling berbagi data biometrik untuk menangkal teroris di luar negeri (Foreign Terrorist Fighters/FTF) yang pulang ke negara asalnya.
Hal ini menjadi salah satu fokus diskusi Sidang Umum Interpol ke-85 di Bali yang berlangsung sejak Senin hingga hari ini, Kamis (10/11). Hari ini adalah hari terakhir penyelenggaraan sidang internasional tersebut.
Kepala Bagian Penerangan Umum Polri Komisaris Besar Martinus Sitompul mengatakan pembahasan ini didasari kesadaran para anggota Interpol akan potensi gangguan keamanan akibat FTF.
"Untuk itu diperlukan sharing (berbagi) informasi melalui Interpol, terutama data biometric, untuk mengidentifikasi dan menghentikan ancaman potensial ini," ujarnya di sela Sidang Umum.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Martinus menjelaskan, hal ini akan dimasukkan dalam skema rencana atau roadmap global untuk kepolisian internasional.
Selain berbagi informasi mengenai orang-orang yang dicurigai terlibat dalam kegiatan terorisme di luar negeri, para delegasi juga membahas penggunaan inisiatif I-Checkit untuk menjaga keamanan perbatasan.
Inisiatif ini memberi kesempatan bagi perusahaan swasta untuk melakukan pengecekan penumpang lebih jauh dalam waktu nyata bersama aparat penegakan hukum, demikian bunyi keterangan laman resmi Interpol.
Martinus mengatakan serangkaian wacana tersebut juga berguna untuk mencegah kejahatan terorganisir lain yang menjadi ancaman global.
Deputi Kerjasama Internasional Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Inspektur Jenderal Petrus Golosse, yang juga merupakan anggota delegasi Indonesia di Sidang Umum, mengatakan kepulangan FTF adalah masalah yang juga relevan bagi Indonesia.
"Di mana Indonesia juga jadi bagian dari FTF yang bergabung dengan ISIS atau ISIL atau Daesh," ujarnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, ada tiga warga Indonesia yang menjadi tokoh di ISIS: Bahrun Naim, Bahrumsyah dan Abu Jandal. Belakangan, Abu Jandal dikabarkan sudah tewas dalam medan perang, meski belum dipastikan kebenarannya.
Petrus menyebut setidaknya ada 70 WNI yang diduga kuat bergabung dengan ISIS di Timur Tengah. Walau demikian, sulit untuk melakukan penegakan hukum terkait terorisme di luar negeri.
Misalnya di Turki yang berbatasan dengan Suriah, kata Petrus, aparat sulit bergerak karena lokasi itu merupakan zona penyangga untuk daerah konflik.
Hanya saja, Petrus mengatakan Indonesia tidak terlalu banyak kontribusi dalam terorisme dunia jika dibandingkan dengan negara lain. "Pendukung maupun FTF di ISIS atau Jabhat Al Nusra dari Indonesia lebih sedikit dibandingkan dari Eropa," ujarnya.
(yul)