Menanti 'Safari' Jokowi di Lubang Tambang

Andika Putra | CNN Indonesia
Selasa, 22 Nov 2016 14:55 WIB
Korban lubang tambang batubara di Kalimantan Timur terus bertambah. Namun hingga kini, tak ada penyelesaian dari pemerintah pusat hingga penegak hukum.
Korban lubang tambang batubara di Kalimantan Timur terus bertambah. Namun hingga kini, tak ada penyelesaian dari pemerintah pusat hingga penegak hukum. (CNN Indonesia/Safir Makki)
Jakarta, CNN Indonesia -- Wajah perempuan terlihat muram ketika memasuki ruang diskusi di kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pada Senin (22/11) pagi. Beberapa kali ia menunduk sambil berpegang tangan. Bahasa tubuh itu seakan menunjukkan rasa gelisah.

Ia adalah Nuraeni, ibu kandung korban lubang tambang batu bara, Ardi bin Hasyim. Anak laki-laki berusia 13 tahun itu ditemukan tewas setelah jatuh dalam lubang tambang milik PT Cahaya Energi Mandiri (CEM) pada 25 Mei 2015.

Saat itu keluarganya tinggal di Jalan Tekukur Pelita 7 Sambutan, Kota Samarinda, Kalimantan Timur.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Berdasarkan data Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim, PT CEM mengantongi IUP operasi produksi batubara di sejumlah lokasi yaitu Kelurahan Sungai Siring, Sungai Pinang Dalam, Sambutan dan Tanah Merah Kecamatan Samarinda Ilir dan Samarinda Utara.

Perusahaan ini memiliki SK IUP nomor 545/315/HK-KS/VI/2010 dengan luas 1.680 hektare.

Dengan konsesi itu, PT CEM tercatat sebagai perusahaan terbesar keempat di Kota Samarinda untuk menambang batubara. IUP PT CEM akan berakhir pada 30 April 2018.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat, ada 17 kolam tambang perusahaan itu. KLHK sempat menyegel PT CEM pada 22 Maret lalu. Namun saat ini, PT CEM masih beroperasi.

"Ia terjatuh ke lubang tambang ketika bermain. Karyawan perusahaan tambang datang ke rumah memberikan kabar. Tapi itu sudah dua hari setelah anak saya menghilang," kata Nuraeni dalam diskusi di Komnas HAM.

Kurang lebih dua bulan setelah kepergian Ardi, Nuraeni menghampiri rumah sakit yang menangani anaknya saat ditemukan. Ia meminta hasil visum dari kamatian anaknya.

Perbincangan dengan rumah sakit berlangsung alot, Nuraeni sempat marah-marah karena rumah sakit tidak memberikan apa yang ia minta.

Tak Mendapatkan Visum

Nuraeni menjelaskan pihak rumah sakit tidak mau memberikan lantaran tidak ada perintah dari polisi. Rumah sakit akhirnya menelepon pihak kepolisian untuk memberikan informasi mengenai Nuraeni yang meminta hasil visum.

Sejak telepon itu Nuraeni duduk di depan rumah sakit, menunggu kepastian mengenai visum dari kematian anaknya. Tak lama kemudian ia melihat polisi datang, mengambil hasil visum lalu pergi.

Nuraeni memutuskan untuk membuntuti polisi itu dengan harapan bisa mendapatkan hasil visum, ia juga memiliki keinginan untuk melakukan otopsi pada jasad anaknya yang sudah dikubur

Ternyata penantian dan keinginan Nuraeni tak berbuah manis. Alih-alih memberikan hasil visum, anggota Polsek Samarinda Ilir, tidak memberikan apa yang ia inginkan. Baik hasil visum, mau pun otopsi.

"Saat itu polisi bilang 'ibu punya dana sekitar Rp30 juta, kalau tidak punya dana tidak usah dipermasalahkan, ikhlaskan saja bu'. Saya bilang saya tidak punya dana karena saya orang miskin," kata Nuraeni.

Perjuangan Nuraeni untuk anaknya tidak berhanti sampai di situ. Ia mengatakan berkali-kali mendatangi Polsek Samarinda Ilir untuk mendapatkan hasil visum dan meminta untuk mengotopsi jasad anaknya. Namun tak membuahkan hasil.

Bukan tanpa alasan, Nuraeni meminta hasil visum dan otopsi. Ia merasa ada keganjilan pada kematian anaknya.

"Anak saya berkebutuhan khsus, ia tidak bisa bicara. Ada keganjilan, saat ditemukan lidah anak saya keluar. Sebelumnya tidak pernah ada korban (lubang tambang) yang keluar lidah," kata Nuraeni.
 Salah satu lokasi tambang batubara di Kalimatan Timur. (CNN Indonesia/Safir Makki)Salah satu lokasi tambang batubara di Kalimatan Timur. (CNN Indonesia/Safir Makki)
Kurang lebih sudah satu tahun enam bulan kasus itu berlalu. Jangankan memberikan hasil visum yang sudah pasti kepolisian setempat miliki, sampai saat ini tidak lanjut dari kepolisian pun belum ada.

Sejak tahun 2011 sampai 2016 Komnas HAM mencatat ada 27 korban yang meninggal karena jatuh ke lubang tambang. Sebanyak 26 di antaranya anak-anak dengan rincian 15 korban di Kota Samarinda dan sembilan korban di Kutai Kertanegara.

Sampai saat ini, hanya dua kasus kematian yang perkaranya sudah divonis di meja hijau. Yaitu kematian Dede Rahmad dan Emalia Raya berusia enam tahun yang tewas tenggelam di lubang tambang milik PT Panca Prima Mining, 24 Desember 2011. Keduanya adalah warga di Perumahan Sambutan Idaman Permai, Pelita 7, Kota Samarinda.

Pengadilan Negeri Samarinda hanya memvonis seorang sekuriti dari pihak kontraktor dengan penjara dua bulan dan membayar biaya perkara Rp1.000.

Mengakui Polisi Nakal

Anggota Divisi Hukum Mabes Polri AKBP Agus Darojat menanggapi apa yang disampaikan oleh Nuraeni. Ia menjelaskan bahwa polisi tidak bisa sembarang melakukan penyidikan. Ada proses yang harus dilakukan sebelumnya.

Agus yakin bahwa anggota polisi di lapangan udah bekerja dengan baik. Namun ia tidak bisa menjamin hal itu 100 persen. Masih ada satu dua orang yang terbilang polisi nakal.

"Kalau ada penyidik nakal yang minta Rp30 juta dan sebagainya silakan dilaporkan. Ada pintu dan koridor masyarakat memberikan laporan untuk ditindaklanjuti. Polri ingin transparan dalam proses, ingin bersih dan sebagainya, itu didukung oleh masyarakat," kata Agus

Tak hanya kepolisian setempat, Pemerintah Daerah Samarinda pun begitu. Tak ada perhatian yang mereka berikan pada Nuraeni, baik dalam bentuk ucapan atau kunjungan dalam rangka memulihkan psikologis Nuraeni.

Nuraeni sempat mendapat perhatian dari PT CEM. Selang satu tahun dari kematian Ardi, PT CEM memberikan uang sebanyak Rp40 juta sebagai santunan. Uang itu diberikan secara berkala kepada Nuraeni, yaitu saat pengburan dan beberapa hari setelah penguburan saat tahlilan.

"Semua uang itu digunakan untuk biaya tahlilan, kami kan tidak punya ada-apa," kata Nuraeni.

Uang santunan itu tidak menyurutkan semangat Nuraeni untuk memperjuangkan bagi anaknya yang sudah tiada. Ia mengaku sudah jalan ke mana-mana untuk mencari keadilan. Ia berharap kehadirannya dalam diskusi Komnas HAM ini bisa menemui titik terang.

"Saya datang kesini ingin meminta apa yang dimaukan pemerintah. Bukan hanya saya, sudah ada beberapa korban. Saya minta ditutup lubang tambang yang menganga, atau diberi pagar supaya tidak ada anak-anak yang jatuh," kata Nuraeni.
Aktivitas kapal yang membawa batubara melintasi sungai Mahakam di Kalimantan Timur. (CNNIndonesia/Saffir Makki)Aktivitas kapal yang membawa batubara melintasi sungai Mahakam di Kalimantan Timur. (CNNIndonesia/Safir Makki)
Kepedulian Istana

Dalam kesempatan yang sama Tenaga Ahli Madya Deputi Bidang Kajian dan Pengelolaan Isu Politik, Hukum, Pertahanan, Keamanan dan HAM Strategis Kantor Staf Kepresidenan, Vivekananda Hasibuan mencoba menjawab apa yang ditanya Nuraeni.

Ia mengaku pihak Istana memiliki kepedulian yang sangat tinggi terhadap masalahan ini.

Saat ini, kata Hasibuan, pemerintah memang menitikberatkan kegiatan usaha ekonomi yang bisa mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Namun tindakan itu tidak boleh melupakan kesejahteraan masyarakat.

"27 korban itu harus di-follow up, itu menjadi formula yang sedang kami susun sekarang. Laporan ini bisa menjadi guidence bagaimana model penyelesaian yang bisa kami ambil," kata dia.

Untuk mengatasi masalah ini, Dinas Pertambangan dan Energi Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur tidak tinggal diam. Mereka telah membentuk inspektur tambang yang berperan untuk mengawasi lubang tambang.

Salah satu inspektur tambang Wahyu Setiawan menjelaskan ada sekitar 50 orang untuk mengawasi satu Provinsi Kalimantan Timur.

Ia merasa jumlah itu kurang bila melihat jumlah Izin Usaha Produksi (IUP). Perlu ada penambahan orang agar pengawasan lebih baik.

Saat melakukan pengawasan, Wahyu beberapa kali menemukan masyarakat yang kurang menjaga keselamatan. Seperti melakukan aktivitas di sekitar lubang tambang.

"Seperti memancing dan sebagainya, kami sudah ingatkan jangan di situ karena berbahaya. Tapi warga itu bilang kalau disana ada ikannya," kata Wahyu. "Informasi mengenai lubang tambang harus terus ditingkatkan."

Kasus lubang tambang sebaiknya tak dipandang sebelah mata. Tak ada yang ingin melihat perempuan lain, macam Nuraeni, bersedih karena kehilangan buah hatinya, terperosok di lubang tambang.

(asa)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER