Jakarta, CNN Indonesia -- Badan Resorasi Gambut (BRG) akan mengimplementasikan beberapa langkah untuk menata dan mengelola lahan gambut di Indonesia. Tiga langkah utama yang akan dilakukan adalah pemetaan lahan gambut, edukasi membuka lahan baru tanpa membakar dan membuat instalasi pengairan.
"Ini sedang kita lakukan pemetaan di tiga provinsi, yaitu Riau, Sumatera Selatan dan Kalimantan Tengah. Kalimantan Tengah selesai bulan Januari dan Riau selesai bulan maret," kata Kepala BRG Nazir Foead saat diskusi di kantor BRG, Jakarta, Kamis (22/12).
Foead menjelaskan, pemetaan merupakan hal penting dalam implementasi tata kelola lahan gambut. Pasalnya, ada perbedaan data luas lahan gambut yang dimiliki pemerintah dengan yang dimiliki swasta.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia menuturkan, berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan Kementerian Pertanian, total luas lahan gambut di Indonesia kurang lebih mencapai 15 juta hektare. Sedangkan berdasarkan data Wetlands total luas lahan gambut di Indonesia kurang lebih mencapai 22 juta hektare.
Sampai saat ini BRG menggunakan skala 1 : 250.000 untuk memetakan lahan gambut. Sedangkan peta dengan skala itu sangat kasar dan kurang akurat. Ke depan, BRG akan membuat peta lahan gambut dengan skala lebih besar agar memiliki luasan lahan yang lebih pasti.
"Prioritas kami mendetailkan peta skala 1 : 250.000 minimal bisa jadi 1 : 50.000. Agar lebih up to date," katanya.
Selain itu, edukasi kepada masyarakat untuk membuka lahan tanpa membakar tidak kalah penting. Masyarakat yang tinggal di kawasan lahan gambut sering kali membuka lahan dengan membakar. Terkadang, mereka tak bisa mengontrol sehingga menyebabkan kebakaran hutan dan lahan.
Foead menjelaskan, ada dua cara yang sudah diinformasikan kepada masyarakat untuk membuka lahan tanpa memkabar. Cara pertama adalah dengan menebas tumbuhan dan membakar tumbuhan dalam drum khusus.
"Drum itu ada cerobong asap, asap keluar tidak berlebihan. Ada pintu juga untuk mengeluarkan abu sisa bakar dan bisa ditebarkan ke tanah untuk menaikkan pH (derajat keasaman) tanah agar subur," ucapnya.
Ia menjelaskan, cara seperti ini sudah dijalankan di wilayah Kalimantan Barat. Universitas Tanjung Pura memperkenalkan cara ini kepada masyarakat yang membuka lahan. Menurut Foead, cara ini sudah terbukti berhasil dan masyarakat tidak komplain.
Cara kedua untuk membuka lahan yakni dengan mikroba pengurai. Tumbuhan yang sudah ditebas dibiarkan di lahan kemudian diberikan bakteri pengurai. Selama dua sampai tiga minggu tumbuhan akan terurai dan menyatu dengan tanah.
Foead mengaku BRG melihat hal itu secara langung di Kalimantan Selatan untuk membuka lahan sawah. Ia menginginkan cara ini digunakan untuk membuka lahan gambut karena sudah terbukti. Apa lagi petani tidak perlu mengeluarkan banyak uang untuk membeli bakteri tersebut.
"Untuk sawah satu hektare butuh empat liter, satu liter Rp 50.000. Kira-kira tidak memberatkan petani," ungkapnya.
Kedua cara itu akan diimplemantasikan pada tujuh provinsi di Indonesia yang terdapat lahan gambut. Yaitu Riau, Sumetera Selatan, Kalimantan Tengah, Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan Papua.
Kemudian, implemantasi tata kelola lahan gambut dengan membuat instalasi pengairan. Instalasi pengairan bisa dimulai dengan membuat kanal air yang sesuai dengan sebaran gambut, membuat sumur bor dan membuat sekat yang mengarahkan air hujan ke arah lahan gambut.
Foead menjelaskan setiap lahan gambut membutuhkan pengairan yang berbeda. Pasalnya tidak semua gambut memiliki tingkat kekeringan yang sama. BRG akan mengategorikan kerusakan gambut pada beberapa level agar ditangani dengan cara yang tepat.
"Saya yakin dengan cara seperti itu gambut Indonesia bisa lebih baik," tutupnya.
(evn)