Jakarta, CNN Indonesia -- Skandal Rolls-Royce tak hanya diduga melibatkan PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk, namun juga melibatkan PT PLN (Persero) melalui proyek Pembangkit Listrik Tanjung Batu, Kalimantan Timur yang dibangun pada 1990-an.
Pekan lalu, KPK menetapkan mantan Direktur Utama PT Garuda Indonesia Tbk (Persero) Emirsyah Satar sebagai tersangka kasus suap dalam pembelian mesin pesawat untuk maskapai itu dari Rolls Royce. Dia diduga menerima suap sekitar Rp20 miliar dalam bentuk uang dan barang. KPK juga menetapkan Sutikno Soedarjo, pemilik MRA Group, sebagai tersangka karena diduga menjadi perantara untuk menyuap Emirsyah.
Terkait dengan PLN, dokumen fakta yang diterbitkan Serious Fraud Office (SFO) menyebut praktik suap oleh Rolls Royce terjadi pada 2011 hingga 2013. Hal itu berkaitan dengan Long Term Service Agreement (LTSA) antara perusahaan dengan BUMN listrik tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pembangkit Listrik Tanjung Batu memiliki dua basis energi yakni gas dan uap. Penghasil listrik itu berada di Kabupaten Tenggarong, Kalimantan Timur dengan kapasitas sekitar 50-60 MW.
Dokumen itu menyebutkan, kongkalikong itu bermula dari penjualan dua paket generator untuk PLN yang digunakan untuk Pembangkit Listrik Tanjung Batu, Samarinda, Kalimantan Timur pada 1990-an. Pada 2000, Rolls-Royce memperoleh kontrak pemeliharaan proyek itu selama 7 tahun.
Sesaat kontrak hampir berakhir, PT PLN membuka tender pada 2006, terkait dengan proyek pemeliharaan pembangkit listrik tersebut. Pada periode itu, PLN dipimpin oleh Eddie Widiono yang menjadi direktur utama periode 2001-2008.
Dokumen SFO menyebutkan seorang direktur perusahaan, yang disebut sebagai Perantara 7, memberitahukan Rolls-Royce bahwa mereka harus melakukan tender terbuka karena situasi baru PLN terkait dengan ‘pengawasan terhadap korupsi’ di perusahaan itu.
 Salah satu PLTU di Kalimantan Timur. PLN memiliki kerja sama LTSA dengan Rolls-Royce terkait pemeliharaan pembangkit listrik sejak 2000. ( Istimewa/dok Agus Humas PLN) |
Selain itu, dia juga menjanjikan akan bertemu 'orang yang bertanggung jawab' di PLN saat itu, agar tender dapat menguntungkan Rolls-Royce. Peserta tender sendiri adalah Rolls-Wood Group, perusahaan gabungan dari Rolls-Royce dan Wood Group, serta satu perusahaan asal Indonesia.
“Saya akan atur strategi agar RR memiliki lebih banyak keuntungan dibandingkan kompetitor,” demikian pernyataan direktur tersebut.
Mengingat situasi ‘pengawasan terhadap korupsi’ di PLN, Rolls-Royce pun mulai mengatur langkah-langkah tertentu. Perwakilan perusahaan itu bertemu dengan seorang direktur PLN—tanpa menyebut detil siapa—bersama dengan Perantara 7. Perwakilan perusahaan itu juga bertemu dengan petinggi perusahaan Indonesia, yang menjadi kompetitor dalam tender tersebut.
Mengatur Tender dan PembayaranUsai bertemu dengan kompetitor perusahaan lokal, Rolls-Royce mengatakan keduanya sepakat bekerja sama, namun dengan perusahaan lain yang juga dipimpin petinggi kompetitor tersebut. Artinya, petinggi itu sedikitnya memimpin dua perusahaan di sektor serupa.
“Jika berhasil mendapatkan kontrak itu, Penasihat Komersial kami (Perantara 7) akan melakukan kontrak dengan Anda… untuk membagi 2 persen dari total nilai kontrak,” demikian surat dari Rolls-Royce.
Nilai kontrak yang berakhir pada 2014 itu sendiri mencapai Euro21.169.500 atau hampir setara Rp287,90 miliar. Hal itu dihitung berdasarkan nilai Euro1 sama dengan Rp13.600 pada 2007.
Akhirnya, perusahaan kompetitor asal Indonesia itu pun melepaskan kontrak dengan PLN dengan menawarkan harga yang tak kompetitif. Rolls-Royce memenangkan tender itu.
Perjanjian antara PLN dan Rolls-Royce diperkirakan terjadi pada Agustus 2007. Pada November, Perantara 7, meminta pembayarannya dari Rolls-Royce terkait dengan komitmen tersebut.
Dokumen SFO menyatakan Perantara 7 meminta dibayar sebagian di Indonesia dan sebagian lagi dengan akun bank Singapura memakai nama pribadi. Akhirnya pembayaran dilakukan melalui dua mata uang berbeda dan dua bank terpisah. Uang itu juga disebutkan tetap dibagikan untuk 'jatah' PLN.
SFO menyatakan penyelidikan terkait pembayaran pada Perantara 7 dilakukan secara internal pada Januari 2012 dengan keterlibatan Energy Compliance Officer. Rolls-Royce juga diduga terus melanjutkan pembayaran komisi secara teratur untuk Perantara 7 hingga Juli 2013.
“Perantara 7 sendiri terus membayar petinggi perusahaan Indonesia yang menjadi kompetitor dan PLN,” demikian dokumen SFO.
Terkait dengan hal tersebut, Manajer Senior Komunikasi PLN Agung Murdifi mengatakan pihaknya akan mempelajari perjanjian yang dimaksud dalam dokumen tersebut lebih dahulu.
“Saya harus konfirmasi dan cek dulu, seperti apa bentuk kerja samanya,” kata Agung ketika dikonfirmasi pada Minggu (22/1).
Dia menuturkan pihaknya harus melihat dulu bagaimana kontrak yang tertuang dalam dokumen SFO tersebut.
 Rolls-Royce diduga memberikan suap kepada perantara dan individu di PLN terkait dengan proyek tender pada 2007. ( REUTERS/Toby Melville) |
Ketika diminta tanggapan mengenai dugaan keterlibatan PLN, Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan pihaknya akan mendalami informasi lain berkaitan dengan Rolls-Royce. Dia menuturkan pihaknya mendapatkan cukup banyak informasi dari SFO maupun CPIB dari Singapura.
“Informasi lain juga akan kami ditelusuri, namun saat ini KPK masih fokus pada data dan bukti yang berkaitan dengan indikasi suap oleh tersangka (Emirsyah dan Soetikno),” kata Febri, kemarin.
(asa)