Jakarta, CNN Indonesia -- Pemerintah menyebut perkara dugaan suap Hakim Konstitusi Patrialis Akbar menjadi momentum perbaikan seleksi hakim. Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto mengatakan, kejadian ini dampak dari kelalaian dalam proses seleksi.
Patrialis merupakan hakim konstitusi yang ditunjuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menggantikan Achmad Sodiki yang pensiun. Wiranto menyatakan, pada dasarnya, seleksi dilakukan untuk memilih figur terbaik untuk mengisi jabatan penting itu.
"Tatkala hasil seleksi
output-nya tidak terbaik, berarti ada yang salah dalam proses seleksi," kata Wiranto di di Kompleks Istana Bogor, Selasa (31/1).
Perbaikan sistem seleksi hakim semakin diperlukan karena hingga saat ini sudah dua hakim konstitusi yang terjerat kasus suap.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain Patrialis, Akil Mochtar yang sebelumnya menjabat sebagai Ketua MK terlebih dulu ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi karena menerima suap atas penanganan sengketa Pilkada. Akil kala itu merupakan hakim pilihan DPR.
Wiranto mengatakan, pemerintah akan mempelajari lebih lanjut sejak di hulu dan mendukung pengetatan proses seleksi. Hal ini guna mencegah terulangnya kejadian yang mencoreng konstitusi Indonesia.
"Kenapa kecolongan berkali-kali? Jangan-jangan sistem seleksinya salah. Kalau salah ya kenapa tidak diperbaiki. Kemarin kan sudah lewat, jangan sampai begitu lagi," mantan Ketua Umum Partai Hanura itu menuturkan.
Juru Bicara Presiden Johan Budi menyatakan, pemilihan pengganti Patrialis nantinya harus melalui panitia seleksi demi menemukan orang berintegritas dan berkapabilitas. Saat ini, Pansel belum dibentuk karena Presiden belum menerima surat dari MK.
"Sebenarnya Presiden bisa menunjuk. Tapi Presiden memilih melalui Pansel yang akan dibentuk dari unsur tokoh masyarakat. Kemudian Pansel akan melibatkan PPATK dan KPK," ujar Johan.
Berdasarkan Pasal 20 Undang undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, penentuan sembilan nama hakim sepenuhnya diserahkan kepada pemerintah, DPR, dan Mahkamah Agung.
Beleid ini tengah digodok Komisi Hukum DPR sejak tahun lalu. Johan berpendapat perkara ini bisa menjadi dasar pertimbangan memperbaiki aturan itu.
"Ini memang momentum untuk memperbaiki seleksi hakim, salah satunya," kata mantan Jubir KPK ini.
Sistem melalui Pansel sudah dilakukan Jokowi dua tahun lalu, saat memilih I Gede Dewa Palguna sebagai pengganti Hamda Zoelva. I Gede Dewa Paguna ditunjuk setelah lulus seleksi wawancara dan penelusuran rekam jejak KPK dan PPATK.
(wis/sur)