Jakarta, CNN Indonesia -- Permohonan uji materi Undang-Undang (UU) Nomor 41/2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan di Mahkamah Konstitusi (MK) mendadak ramai dibincangkan. Padahal uji materi yang mengatur ketentuan impor daging ini telah selesai disidangkan sejak Mei 2016.
Hampir setahun berlalu, isu ini dilupakan publik, atau bahkan ada yang tak menaruh perhatian sama sekali terhadap persoalan ini, sebelum Hakim Konstitusi Patrialis Akbar ditangkap.
Patrialis diduga menerima suap dari pengusaha Basuki Hariman terkait uji materi UU tersebut. Melalui pemeriksaan Majelis Kehormatan MK, Patrialis mengaku membocorkan draf putusan uji materi melalui Kamaludin, terduga perantara suap yang diduga orang dekatnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memastikan, draf putusan yang berpindah tangan itu sama dengan draf putusan asli MK yang belum dibacakan. Padahal draf putusan perkara adalah rahasia negara.
Tak banyak yang bisa diketahui dari sosok Kamaludin. Ia disebut-sebut sering berkunjung ke ruang kerja Patrialis di Gedung MK. Publik mulai mempertanyakan kepentingan yang mendasari Patrialis membocorkan draf putusan pada Kamaludin.
Ketua MK Arief Hidayat sempat heran ketika tahu draf putusan tersebut bocor. Menurut Arief, MK selalu menyimpan draf dengan baik sebelum dipublikasikan.
Bahkan untuk menjaga kerahasiannya, hakim MK tak pernah memberitahu draf putusan pada istri maupun anggota keluarga.
“Jangankan ke pihak luar, istri dan anak saya saja tidak pernah tahu isi draf putusan itu. Sebelum putusan dibacakan, itu rahasia negara,” ujar Arief di Istana Negara, Selasa (7/2).
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Diponegoro ini mengungkapkan, draf putusan mestinya menjadi kewenangan ketua hakim panel yang menangani uji materi. Selain Patrialis, uji materi ini ditangani hakim konstitusi I Dewa Gede Palguna dan Manahan MP Sitompul sebagai ketua hakim panel.
Karena itu, pembuat draf atau drafter putusan tersebut bukan Patrialis, melainkan Manahan.
Sebagai hakim drafter, Manahan tak berwenang menyampaikan draf putusan kepada Patrialis. Draf putusan langsung diserahkan pada panitera dan disimpan dalam file di ruangan yang hanya boleh dimasuki panitera dan hakim yang mengikuti Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH).
Perkara itu, lanjut Arief, telah lama diputuskan sebelum Patrialis tertangkap tangan KPK. “Itu yang harus ditelisik. Kami tidak tahu bagaimana draf putusan bisa bocor. Dari keterangan hakim drafter, tidak ada menyampaikan pada Pak Patrialis,” kata Arief.
Hakim Manahan sebelumnya juga menjelaskan, dirinya tak tahu draf putusan itu bocor. Sesuai ketentuan di MK, draf putusan langsung diserahkan pada panitera dan tak dikembalikan lagi padanya.
Patrialis juga tak pernah meminta draf putusan kepada Manahan. “Tidak ada sama sekali dia minta draf putusan pada saya. Ndak ada diminta sama sekali,” tutur Manahan.
Dibawa PulangHakim tak boleh membawa draf putusan yang akan dipublikasikan dan draf itu baru diserahkan kembali pada hakim konstitusi 30 menit sebelum pembacaan putusan. Tujuannya, membagi jatah pembacaan putusan masing-masing hakim dalam sidang pleno yang dilaksanakan terbuka.
Hakim Palguna yang juga menangani perkara menuturkan, draf putusan yang boleh dibawa pulang hakim bukanlah draf akhir yang akan dipublikasikan. Namun draf putusan sementara hasil diskusi para hakim saat RPH.
Menurutnya, draf putusan sementara boleh dibawa untuk dipelajari atau dikoreksi sebelum benar-benar diputuskan. Selama penanganan perkara, Palguna mengaku tak melihat keanehan pada Patrialis.
Apalagi, Palguna menilai, bukan hal mudah bagi Patrialis memengaruhi hakim lain lantaran perkara itu diputus bersama delapan orang hakim lainnya. Patrialis justru memiliki kecenderungan menolak uji materi tersebut selama pembahasan perkara.
“Kami berdebat atau mengajukan argumentasi saat RPH itu wajar. Tidak ada hal yang aneh di situ,” ucap Palguna.
Uji materi UU Ternak akhirnya diputus pada 7 Februari 2017. MK memutuskan mengabulkan sebagian permohonan para pemohon yang berasal dari Gabungan Koperasi Susu Indonesia.
Dalam putusannya, MK menyatakan, ketentuan impor daging dengan sistem zona (zone base) hanya dilakukan dalam keadaan mendesak, misal akibat bencana atau saat masyarakat membutuhkan pasokan ternak atau produk hewan.
Sementara tiga pasal lain tentang syarat dan tata cara pemasukan ternak ke Indonesia ditolak.
Peraturan MKDalam proses pembahasan perkara di MK, terdapat sejumlah tahap yang harus dilakukan hakim konstitusi. Sesuai Peraturan MK 6/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian UU, suatu perkara mesti diputus oleh sembilan hakim konstitusi dalam RPH yang dilakukan secara tertutup dan rahasia.
Pasal 30 menyatakan, dalam RPH, hakim panel yang menangani perkara harus melaporkan hasil pemeriksaan pendahuluan, hasil persidangan, rekomendasi hasil persidangan, mendengar pendapat hukum para hakim, melaporkan hasil hakim panel yang menyusun rancangan putusan, hingga pembagian tugas pembacaan putusan sidang pleno.
Tak jarang dalam proses ini, beberapa hakim memiliki dissenting opinion atau pendapat berbeda tentang perkara yang akan diputuskan.
Apabila dalam RPH tidak mencapai mufakat, maka rapat ditunda sampai pembahasan selanjutnya. Hal ini yang membuat penanganan perkara di MK terkesan lama dan berlarut.
Jika berulang kali dilakukan RPH ternyata masih tidak mencapai mufakat, maka putusan diambil dengan suara terbanyak. Jika masih belum berhasil, maka Ketua RPH yang akan menentukan.
Putusan ini memiliki kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno yang dilaksanakan secara terbuka untuk umum.
Jika merujuk pada beleid tersebut, Patrialis mestinya tak memiliki kewenangan penuh dalam penanganan uji materi UU Ternak. Terlebih mantan Menteri Hukum dan HAM itu bukan hakim panel yang bertugas sebagai pembuat draf putusan.
Selain itu, tak mudah bagi Patrialis seorang diri memengaruhi delapan hakim lain dalam memutus perkara.
KPK sebelumnya menyita draf putusan yang bocor tersebut dari tangan Kamaludin. Hingga saat ini, belum dijelaskan bagaimana draf putusan itu bisa sampai ke tangan Kamaludin.
Kepala Biro Humas KPK Febri Diansyah menegaskan, lembaganya telah memiliki sejumlah bukti yang menguatkan ada kepentingan Patrialis dalam penerimaan suap. Mulai dari bukti penerimaan uang, dokumen, hingga sadapan rekaman percakapan.
“Nanti semua akan dibuktikan dalam persidangan,” ucapnya.
Siapa sebenarnya yang membocorkan draf? Dan apa kepentingan Patrialis dalam putusan uji materi UU Ternak tersebut? Publik harus menunggu hingga persidangan terbuka kasus ini di Pengadilan Tipikor.
(rdk)