Jakarta, CNN Indonesia -- Sejumlah warga Cipinang Melayu, Kecamatan Makasar, Jakarta Timur keberatan jika harus digusur dan dipindahkan. Puluhan tahun hidup di kawasan bantaran sungai membuat mereka sudah terbiasa dengan banjir. Apalagi kehangatan lingkungan sosial yang sudah terjalin bertahun-tahun, tak mudah mereka lupakan.
Siti Rohani, salah seorang warga RW04 Cipinang Melayu mengatakan, ia bersama adiknya, Hasan Basri sudah tinggal di sana sejak 1986. Ia sudah terbiasa rumahnya tergenang saat Kali Sunter yang tak jauh dari rumahnya meluap.
Karena sudah terbiasa, perempuan yang akrab disapa Ani ini enggan mengungsi jika ketinggian luapan air masih bisa ditoleransi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun jika banjir besar yang datang, mau bagaimana lagi, ia masih sayang nyawanya.
"Kalau banjir biasanya enggak pernah ngungsi. Diam saja di atas (lantai dua). Kemarin karena air Kalimalang tumpah saja, terpaksa mengungsi," kata Ani saat ditemui CNNIndonesia.com di kediamannya.
Saat banjir kemarin, ketinggian air menurutnya sudah dalam tingkat membahayakan sehingga Ani memilih mengungsi di Masjid Universitas Borobudur.
 Salah satu posko di kawasan Cipinang Melayu yang didirikan untuk membantu warga yang kebanjiran ( CNN Indonesia/Marcelinus Gual) |
Tiga puluh tahun tinggal di Cipinang Melayu membuat Ani merasa berat untuk meninggalkan rumah peninggalan orang tuanya itu. Apalagi menurutnya, suasana kekeluargaan demikian terasa di lingkungan tempat tinggalnya.
Ani sehari-hari membuka usaha jasa menjahit di rumahnya itu. Hampir semua warga di RW04 tempatnya tinggal, selalu menggunakan jasanya.
Menurutnya, para pelanggannya berharap ia pindah tidak jauh meski nantinya rumahnya diratakan dengan tanah oleh pemerintah.
Ani khawatir kehilangan mata pencahariannya jika ditempatkan di rumah susun pascapenggusuran.
"Di sini sudah banyak pelanggan. Takutnya kalau aku pindah, nanti enggak punya pelanggan lagi," ujarnya.
Ani masih tinggal bersama adiknya, Hasan Basri yang juga membuka usaha jasa perbaikan mobil di rumahnya. Sama seperti Ani, Hasan juga khawatir usahanya akan mati jika ia pindah ke rusun seperti yang dijanjikan.
Jika boleh memilih, Hasan ingin agar ia dan Ani mendapat ganti rugi uang tunai agar ia bisa mencari tempat tinggal sendiri di dekat lokasi sekarang.
"Saya lebih pilih cari pemukiman biasa, tidak perlu rusun," kata Hasan.
Namun semua ia serahkan pada Pemprov DKI Jakarta. Penggusuran pun tak bakal ia halang-halangi. Hasan paham normalisasi sungai adalah upaya untuk mencegah banjir di Jakarta.
"Yang penting penggantinya sesuai saja," ujarnya.
Sama seperti Ani dan Hasan, pasangan suami istri, Ichwan dan Yuniarti juga merasa berat jika harus kehilangan tetangga. Keduanya sudah 30 tahun tinggal di sana atau sejak belum menikah. Selama itu pula mereka selalu kebanjiran.
Jadi korban banjir tiga dekade membuat mereka sudah terbiasa.
 Banjir yang melanda Cipinang Melayu beberapa waktu lalu. ( ANTARA FOTO/Rosa Panggabean) |
"Lingkungannya sudah enak. Sekeluarga suka. Sudah pernah berpikir buat pindah, karena capek membersihkan rumah saat banjir. Tapi, justru anak-anak yang susah diminta pindah karena betah," kata Yunarti.
Membersihkan lumpur adalah rutinitas tahunan warga. Sudah bisa ditebak, setiap Januari hingga Maret, dipastikan mereka harus bekerja ekstra membersihkan lumpur sisa banjir.
Untuk meringankan beban, sesama warga saling bahu membahu membersihkan rumah dan jalan yang terendam lumpur.
"Tetangganya pada enak, kompak. Kalau banjir pada saling bantu. Kalau pindah, belum tentu ketemu keluarga kayak disini," kata Theresia, warga yang lain.
Namun tidak semua warga menolak digusur dan dipindahkan. Ada juga warga yang ingin secepatnya digusur dan mendapat tempat tinggal baru yang bebas banjir.
Ade Darwati adalah salah satunya. Saat CNNIndonesia.com menemuinya, air sungai baru saja melimpas ke rumahnya. Alih-alih membersihkan, Ade malah memilih membiarkan air menggenangi rumahnya.
Ia malah berjalan-jalan ke rumah tetangganya sembari momong anak.
Ade menyebut bayinya yang berusia tujuh bulan memang sedang sakit dan rewel. Ia menduga banjir jadi penyebabnya.
"Sejak banjir, (anak saya) jadi batuk dan flu. Enggak sembuh-sembuh. Sekarang menangis terus," kata Ade. Ia berharap hujan deras tak lagi turun sehingga air tak lagi menggenangi rumahnya.
"Tiap hujan sedikit, itu (rumah) juga banjir," katanya.
Ade menempati rumah tepat di pinggir Sungai Sunter yang membelah kawasan Cipinang Melayu. Rumahnya termasuk jadi yang pertama tergenang saat iar sungai penuh.
Karena rutin kebanjiran, kondisi rumahnya memprihatinkan. Keramik lantai rumahnya banyak retak dan pecah di beberapa bagian.
Ade mengaku sudah terlalu bosan dengan banjir dan capek membersihkan rumah. Hal itu terlihat dari beberapa perabot rumah yang dibiarkan kotor. Lumpur sisa banjir yang menempel di perabot bahkan hingga mengering.
 Pengerukan kali Sunter untuk mengantisipasi banjir di ibu kota. ( ANTARA FOTO/Wahyu Putro A) |
Ade mengaku saat setuju jika harus dipindahkan ke rusun. Saat warga lain tak berharap pindah, ia malah ingin secepatnya.
"Asalkan bayarannya jelas, saya dan suami mau saja. Banjir melulu, pusing," katanya.
Namun sejak tahun lalu ada kabar penggusuran, sampai saat ini belum juga ada realisasi.
Kawasan Cipinang Melayu adalah satu dari tiga daerah yang bakal segera digusur oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Kawasan ini adalah daerah langganan banjir dari limpasan air Kali Sunter.
Meski hujan tidak turun, jika kawasan hulu hujan deras dan air Sungai Sunter melupa, Cipinang Melayu dipastikan tergenang.
Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane (BBWSCC) Kementerian Pekerja Umum dan Perumahan Rakyat Teuku Iskandar mengatakan, setidaknya ada sekitar 3 kilometer wilayah bantaran Sungai Sunter di Cipinang Melayu yang akan dinormalisasi.
Normalisasi dilakukan dengan cara mengembalikan kedalaman sungai, memasang tanggul, membuat jalan inspeksi, dan membersihkan kawasan di tepi sungai.
"Diharapkan, Maret ini sudah bisa disosialisasikan pada masyarakat (yang akan direlokasi). Walikota sudah mempersiapkan," kata Iskandar.