Jakarta, CNN Indonesia -- Wacana keterlibatan partai politik dalam Komisi Pemilihan Umum (KPU) menjadi perdebatan dari berbagai pihak.
Wacana tersebut muncul usai panitia khusus (pansus) Rancangan Undang-undang (RUU) Pemilu kembali dari kunjungannya ke Jerman dan Meksiko. Hal ini karena di dua negara tersebut, komisioner KPU berasal dari latar perwakilan parpol.
Ketua Pansus Lukman Edy mengatakan, ada dua opsi terkait wacana ini. Pertama, komisioner KPU terdiri dari tiga unsur yakni parpol, pemerintah dan masyarakat. Opsi kedua, komisioner KPU tetap berasal dari masyarakat, namun nantinya akan ada dewan khusus.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lukman menyebut di Jerman ada 11 anggota KPU yang terdiri satu unsur pemerintah, dua hakim, dan delapan dari parpol. Untuk itu, Pansus RUU Pemilu mewacanakan Indonesia memiliki format sama. Kemungkinan terbesarnya adalah opsi yang meletakkan perwakilan parpol di sebuah dewan khusus.
Sementara Ketua KPU Juri Ardiantoro mengatakan, wacana keterlibatan parpol di KPU patut dicurigai. Menurutnya keterlibatan parpol justru akan membuka peluang munculnya persoalan-persoalan baru di tubuh penyelenggaran pemilu. Salah satunya upaya menunggangi KPU untuk kepentingan partai.
Untuk itu, Juri meminta kepada parpol yang duduk di DPR untuk tidak mendukung wacana tersebut, bahkan harus mengkritisinya.
Pengamat politik dari Universitas Negeri Jakarta Ubedilah Badrun mengatakan, tidak masalah jika parpol ikut terlibat di KPU.
Yang menjadi masalah adalah jika seluruh komisioner berasal dari parpol. Hal itu bisa mengakibatkan adanya konflik kepentingan. Selain itu juga bisa menimbulkan
deadlock dalam proses pengambilan keputusan.
Namun jika komposisi tiga unsur: parpol, pemerintah, dan masyarakat, hal itu dinilainya merupakan komposisi seimbang yang tidak akan menimbulkan permasalahan.
"Keseimbangan saja jadi kuota misal dari parpol 30 persen, 20 persen pemerintah, 30 persen dari masyarakat. Jadi tiga kelompok besar ini bisa menjadi komisioner, tentu saja prosesnya tetap melalui sebuah seleksi yang ketat agar menghasilkan komisioner yang berkualitas," kata Ubedilah kepada
CNNIndonesia.com.
Ia mengatakan, kepetingan parpol di KPU bisa dihindari karena ada kontrol dari kelompok lain (pemerintah dan masyarakat). Tak hanya melakukan kontrol, namun dengan adanya tiga kelompok di KPU akan terjadi pula proses
check and balance.
Pendapat berbeda disampaikan pengamat politik dari Indonesia Public Institute (IPI) Karyono Wibowo. Menurutnya, wacana keterlibatan parpol justru menunjukkan adanya tarik menarik kepentingan.
"Saya pikir DPR sudah kehilangan akal sehat," kata Karyono.
Karyono mengatakan dengan adanya keterlibatan parpol di KPU akan bertentangan dengan asas demokrasi. Menurutnya tidak mungkin parpol sebagai 'pemain' juga merangkap sebagai 'wasit' untuk mengawasi jalannya permainan.
 Komisioner Komisi Pemilihan Umum. (CNN Indonesia/Andry Novelino) |
Tak hanya itu, keterlibatan parpol juga akan menimbulkan konflik kepentingan. Ia memperkirakan, jika wacana ini jadi kenyataan, perwakilan parpol di KPU akan berusaha memasukkan kepentingannya. Sehingga tarik menarik dalam proses pengambilan keputusan di KPU tidak bisa dihindari.
"Semua parpol pada prinsipnya ingin menang, nah tentu parpol yang memiliki wakil di komisioner KPU akan berjuang habis-habisan bagaimana memenangkan parpolnya masing-masing," kata Karyono.
Jika ada pendapat yang mengatakan keterlibatan parpol itu untuk mengurangi kecurangan dalam proses pelaksaan pemilu, menurut Karyono itu pendapat yang mengada-ada.
Ia menilai masalah kecurangan yang terjadi dalam proses pemilu merupakan persoalan tersendiri. Hal ini karena sudah ada undang-undang dan peraturan yang mengatur proses pemilu, mulai dari UU Pemilu, UU Pilkada, hingga Peraturan KPU (PKPU).
Selain itu, lanjut Karyono juga sudah ada badan yang berfungi untuk melakukan pengawasan terhadap proses pelaksanaan pemilu yaitu Badan Pengawas Pemilu dan Dewan Kehormartan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
Terkait pembentukan dewan khusus yang juga diisi oleh perwakilan parpol, Karyono menilai hal itu justru akan menimbulkan konflik kepentingan dalam proses pengawasan dan akan mematikan fungsi dari Bawaslu dan DKPP.
"Buat apa fungsi Bawaslu ada DKPP, nah itu kan sama dengan menafikan atau menegasikan fungsi Bawaslu dan DKPP," kata Karyono.