Jakarta, CNN Indonesia -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menegaskan kritik terhadap pemanfaatan pungutan ekspor sawit atau CPO Fund yang tidak sesuai dengan penempatannya.
Wakil Ketua KPK Saut Situmorang menuturkan hal itu ketika ditanya tentang dugaan korupsi CPO Fund. "Ada pemanfaatan yang belum cocok," kata Saut di Kompleks Istana Kepresidenan, Jumat (5/5).
Dia menegaskan ketidakcocokan yang ditemukan adalah penggunaan biodiesel kepada pihak tertentu dan pungutan untuk
replanting (penanaman kembali) yang belum berjalan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia menyatakan lupa angka dugaan kerugian negara dalam sektor ini.
"Hitungan eksportirnya kan besar juga. Tapi saya lupa angkanya," ucapnya.
Pagi tadi, keempat pimpinan KPK menemui Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka. Walaupun demikian, Saut menyatakan, soal sawit ini tak dibahas dalam pertemuan singkat tadi.
Diketahui, Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2015 tentang Penghimpunan Dan Penggunaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit pada Mei 2015.
Dengan Perpres itu, dibentuk lembaga Badan Pengelola Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP) yang diketuai oleh Bayu Khrisnamurti. Namun Bayu mengundurkan diri pada Februari lalu dan digantikan oleh Dono Boestami.
Perusahaan PenerimaPungutan itu adalah US$50 per satu ton minyak sawit untuk kebutuhan ekspor. Pada pertengahan 2016, dana pungutan mencapai sekitar Rp5,6 triliun dan ditargetkan mencapai Rp10 triliun pada akhir 2017.
Kajian KPK tentang Pengelolaan Kelapa Sawit mencatat, sedikitnya 11 perusahaan yang memperoleh dana perkebunan tersebut untuk program biofuel periode Agustus 2015-April 2016.
Perusahaan itu adalah PT Wilmar Bionergi Indonesia; PT Wilmar Nabati Indonesia; Musim Mas, PT Eterindo Wahanatama; PT Anugerahinti Gemanusa; PT Darmex Biofuels; PT Pelita Agung Agrindustri; PT Primanusa Palma Energi; PT Ciliandra Perkasa; PT Cemerlang Energi Perkasa; dan PT Energi Baharu Lestari.