Jakarta, CNN Indonesia -- Sudah 100 hari lebih Masjid Al Hidayah di Sawangan, Depok, tak lagi terisi. Bangunan bertembok hijau itu disegel dan ditutup rapat-rapat. Potongan kayu menghalangi pintu dan daun jendela, menjadi tanda tak boleh ada satu pun aktivitas yang berlangsung di dalamnya.
Masjid itu memiliki bentuk bangunan yang jika dilihat sekilas justru tampak seperti rumah. Tidak ada ciri khas seperti bedug atau kubah di bagian atap. Bahkan tak ada plang yang menunjukkan bangunan tersebut merupakan Masjid Al Hidayah.
Yang tampak justru papan penyegelan dari Pemerintah Kota Depok. Sejak 23 Februari 2017, Pemerintah Kota Depok memang telah menyegel Masjid Al Hidayah sehingga tidak bisa digunakan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Masjid hijau itu milik jemaah Ahmadliyah, aliran kepercayaan Islam yang melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri Nomor 3 Tahun 2008 dinyatakan terlarang di Indonesia. Mereka tak boleh lagi menyebarkan ajaran atau beraktivitas.
 Masjid Al Hidayah di Depok disegel sejak 23 Februari lalu sehingga jemaah Ahmadiyah menggelar salat di halaman. (CNN Indonesia/Patricia Diah Ayu Saraswati) |
Namun bukan berarti hari-hari jemaah Ahmadiyah lantas berhenti.
Di bulan Ramadan, mereka tetap melakukan berbagai kewajiban seperti halnya umat Muslim. Termasuk berpuasa dan bertarawih. Hanya saja mereka melakukannya dalam berbagai keterbatasan. Misalnya saja saat salat. Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) sehari-harinya hanya bisa memanfaatkan halaman belakang masjid.
Saat CNNIndonesia.com datang pada Senin petang, tak ada riuh aktivitas jemaah Ahmadiyah di masjid tersebut. Hanya ada dua orang yang sedang berbincang usai melakukan ibadah salat asar.
Menurut Yusfiar, salah seorang jemaah, biasanya masjid tersebut akan ramai saat ibadah digelar atau ketika ada kegiatan khusus.
Di bulan Ramadan ini, biasanya menjelang saat berbuka puasa beberapa jemaat akan membagikan takjil kepada masyarakat -– kegiatan yang rutin digelar dalam beberapa tahun ke belakang.
Sekitar pukul 16.30 WIB, datang seorang jemaat yang membawa takjil yang akan dibagikan kepada masyarakat yang melintas di depan Masjid Al Hidayah. Sore itu, pembagian takjil dimulai sekitar pukul 17.30 WIB menjelang berbuka puasa.
Masyarakat yang kebetulan melintas di depan Masjid Al Hidayah pun tampak antusias dengan pembagian takjil. Tak sampai 15 menit, takjil yang disiapkan pun telah ludes dibagikan.
"Biasanya kami bagikan 100 takjil (setiap hari)," kata Yusfiar.
 Jemaah Ahmadiyah membagikan takjil gratis kepada masyarakat sekitar. (CNN Indonesia/Patricia Diah Ayu Saraswati) |
Usai membagi takjil, beberapa jemaat yang berkumpul di Masjid tersebut mulai menyiapkan diri untuk berbuka puasa. Sore itu kurang lebih belasan jemaah berkumpul, mulai dari anak hingga dewasa. Es kelapa muda, teh manis, dan beberapa makanan ringan menjadi menu untuk membatalkan puasa. Setelahnya, para jemaat pun mulai melaksanakan salat magrib.
Dengan tempat seadanya, mereka beribadah di halaman. Pembatas antara laki-laki dan perempuan pun hanya sebuah kain hijau yang dibentangkan dan diikat pada tiang.
Suasana pelataran masjid sedikit bertambah ramai ketika beberapa orang bergabung untuk salat tarawih. Tapi, secara total, hanya 15 jemaah yang menunaikan salat tarawih di mesjid bersegel tersebut.
Yusfiar menuturkan, memang tak semua jemaat Ahmadiyah yang tinggal di Depok akan datang ke Masjid Al Hidayah untuk melaksanakan ibadah salat, terutama karena banyak di antara mereka tinggal jauh dari masjid.
Di luar bulan Ramadan, jemaat Ahmadiyah di Depok juga cukup rutin melakukan berbagai kegiatan. Misalnya saja pengajian yang dilakukan setiap satu bulan sekali. Demikian pula dengan baksi sosial. Selain itu, jemaah Ahmadiyah juga melakukan kegiatan bakti sosial di wilayah Depok.
Saat Idul Adha pun Masjid Al Hidayah juga melakukan penyembelihan hewan kurban yang kemudian dibagikan kepada masyarakat sekitar.
Menurut pengakuan Yusfiar, masyarakat pun senang dengan pembagian kurban tersebut. Ia menilai selama ini hubungan jemaat Ahmadiyah di Depok dengan masyarakat pun sekitar terjalin dengan baik.
"Waktu kami pernah dilarang melakukan kurban, masyarakat bertanya-tanya. Soalnya mereka senang kalau kami kasih kurban," ujarnya.
Mengikuti Ketetapan PemerintahPemimpin
mubaligh Ahmadiyah wilayah Jakarta, Gumay, menyebut tidak ada perbedaan dalam tata cara menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadan antara jemaah Ahmadiyah dengan umat Muslim karena dasar Ahmadiyah adalah Islam.
Demikian pula dengan penetapan awal Ramadan dan Idul Fitri yang mengikuti ketetapan pemerintah. Gumay menyatakan, ketaatan jemaah Ahmadiyah terhadap pemerintah merupakan bagian dari keimanan.
"Masalah ketaatan pada pemerintah jadi sebagian keimanan orang Ahmadiyah, baik itu hal yang manis (baik) atau pahit (buruk) bagi Ahmadiyah," ujar Gumay kepada CNNIndonesia.com, Selasa (6/6).
Gumay menyebut di bulan Ramadan, jemaah Ahmadiyah biasanya melakukan penekanan khusus terkait ibadah. Misalnya saja mengkhatamkan Al Quran, bersedekah, dan berbagai program sosial seperti bazar sembako murah atau pengobatan gratis.
Gumay mengatakan, masjid milik Ahmadiyah sebenarnya terbuka bagi umat Muslim lainnya yang ingin melaksanakan salat. Jemaah Ahmadiyah pun bisa salat di masjid-masjid lain, tidak harus di masjid milik sendiri.
 Jemaah Ahmadiyah menggelar salat di halaman masjid yang tersegel di Masjid Al Hidayah, Sawangan, Depok. (CNN Indonesia/Patricia Diah Ayu Saraswati) |
Sejak SKB dikeluarkan Jaksa Agung, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, menurut Gumay, jemaah Ahmadiyah cukup kesulitan menggelar acara dengan jumlah peserta banyak. Hal ini karena sangat sukar mendapat tempat serta perizinan dari pihak kepolisian.
Sementara di sisi lain, SKB Tiga Menteri juga tidak serta-merta menghentikan intimidasi pada jemaah Ahmadiyah seperti yang mereka harapkan sebelumnya.
"Di SKB itu ada poin yang mengatakan tidak boleh melakukan intimidasi terhadap Ahmadiyah, tetapi tetap sama saja (ada intimidasi). SKB seharusnya bermata dua, tetapi jadi bermata satu, tajamnya ke orang Ahmadiyah," tutur Gumay.
Menurut Gumay, hubungan jemaah Ahmadiyah dengan masyarakat sekitar sebenarnya terjalin dengan baik dan tanpa permasalahan. Hanya saja, biasanya justru ormas-ormas tertentu yang terkadang mengintimidasi atau mengancam jemaah.
"Yang jadi masalah pertama dari kaum muslim minoritas yang radikal. Kemudian pemerintah sebenarnya hanya ditekan oleh kelompok ini, sehingga mereka (pemerintah) mengeluarkan kebijakan yang bersifat intimidasi," ucap Gumay.
Gumay mengaku intimidasi bukanlah hal baru dan bahkan sudah terjadi semenjak Ahmadiyah berdiri.
Di Indonesia sendiri, seperti dikutip dari situs resmi Ahmadiyah, jejak mereka sudah ada sejak 1925 ketika tiga pemuda sekolah Islam modern, Sumatera Thawalib, merantau ke India. Di sana mereka bergabung dengan jemaah Ahmadiyah dan kemudian menyebarkan ajaran ketika kembali ke Indonesia.
"(Intimidasi) semenjak dari pendiri Ahmadiyah Mirza Ghulam Ahmad. Dari zaman beliau menjalani misi, lekat dengan intimidasi, baik dari fatwa hingga kekerasan fisik. Beliau berwasiat bahwa di mana kamu dicaci, dimaki --kalau bahasa sekarang intimidasi, persekusi-- balaslah dengan doa. Itu harta rohani yang kami pegang sampai hari ini. Kalau beliau pesannya lain, mungkin kami juga lakukan hal yang lain," ujar Gumay.
Ahmadiyah pun akhirnya memaknai bentuk intimidasi yang diterima sebagai bagian dari resiko perjuangan.
"
Love for all,
hatred for none, itu motto kami. Maka untuk meminimalisir bentuk intimidasi, kami menjaga hubungan baik, mempererat silahturahmi dengan pihak mana pun. Kalian tidak akan menemukan orang Ahmadiyah yang agresif, melakukan penyerangan, pembalasan yang melanggar hukum, karena dasarnya kami mengedepankan damai," kata Gumay.
Walaupun demikian, Gumay tak menampik bahwa intimidasi-intimidasi itu menimbulkan trauma tersendiri.
"Kami bergerak, menguatkan, meyakinkan para anggota. Selain itu juga menyemangati bahwa ini bukan akhir dari segalaya, ini bagian dari perjuangan," ujarnya.
(vws/vws)