Jakarta, CNN Indonesia -- Di tepi peron Stasiun Citayam, Depok, Herman gelisah menunggu kereta yang akan mengantarnya ke Stasiun Karet, Jakarta Pusat. Beberapa kali dia melirik jam. Pria bertubuh kekar ini takut telat karena terlanjur janji menyampaikan khotbah di Masjid Al-Ikhlash, Rusun Karet Tengsin.
Penampilan Herman petang itu tak seperti ustaz yang akan mengisi ceramah agama. Kaus polos merah jambu yang dia kenakan agak ketat. Otot lengannya yang menonjol menggendong tas ransel. Celana jinnya berpadu dengan pantofel. Sepasang earphone menempel di telinga.
Sesekali dia mengecek ponsel dalam genggaman. Herman membuka Google dan mencari bahan bacaan tentang amal saleh yang diterima Allah SWT. Tema itu adalah materi ceramah yang akan disampaikan Herman sebelum salat tarawih pada pekan terakhir Ramadan lalu.
Di balik penampilannya yang modis, tak ada yang mengira bahwa pria 33 tahun ini seorang narapidana kasus terorisme. Pada 2010, Herman divonis 8 tahun karena mengikuti pelatihan militer di Aceh untuk bekal jihad.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Setelah dipenjara 5 tahun 2 bulan, dia kini bebas bersyarat dan wajib lapor polisi.
Herman bukan nama sebenarnya. Dia tak bersedia disebutkan identitasnya karena alasan keamanan, selain untuk menghindari timbulnya kebencian.
Pria berjanggut ini berusaha menutupi status narapidana teroris yang dianggapnya sebagai aib.
Empat bulan sebelum keluar dari penjara pada 2015, Herman mengusung keluarganya ke Citayam. Dia tinggalkan Tanah Abang, Jakarta Pusat, tempatnya dibesarkan.
Keputusan itu diambil untuk menghindari reaksi warga setempat yang tak siap menerima saat dia kembali ke masyarakat.
“Saya pindah untuk menghindari omongan masyarakat yang enggak enak, daripada emosi dengar yang macam-macam, lebih baik saya menghindari konflik,” kata Herman saat ditemui di rumahnya, Juni lalu.
Di sebuah gang kecil di kawasan Citayam, Herman menjalani keseharian bersama istri dan seorang putra. Herman merasa nyaman berada di lingkungannya saat ini lantaran tak ada yang tahu statusnya.
“Di sini enggak ada yang tahu [Herman mantan teroris], mungkin hanya Pak RT yang tahu. Saya
low profile saja, berusaha menjadi orang normal. Makanya pakai levis, supaya enggak mencolok,” ujarnya.
Pusat KebugaranDi sana, dia menemukan komunitas baru di tempat pusat kebugaran. Herman juga diminta melatih fitnes. Olahraga ini sebenarnya sudah dia jalani sejak empat tahun lalu. Herman belajar secara autodidak saat masih mendekam di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, Jakarta Timur.
"Aktivitas saya di sini,
fitness. Saya cari komunitas baru, kadang sama yang punya [tempat] disuruh melatih orang baru," katanya.
 Ilustrasi tempat olah raga. (CNN Indonesia/Megiza) |
Di luar itu, dia mengajar di beberapa tempat atas permintaan kerabat. Bahkan hampir tiap bulan Herman menjadi narasumber seminar terkait program deradikalisasi yang diadakan sejumlah yayasan atau lembaga negara.
"Penghasilan kalau ditotal [setara] UMR, tapi kadang di bawahnya," ujar Herman.
Dia juga menawarkan jasa praktik bekam dan rukiah sebagai pekerjaan sampingan. Usaha ini pernah berkembang sebelum dirinya ditahan, meski kini hanya menunggu panggilan. Banyak pula bekas pasiennya yang menawarkan pekerjaan setelah dia bebas, termasuk bekerja di tempat fitnes.
Meski demikian, Herman enggan berkegiatan agama di Citayam. Namun di Tanah Abang justru sebaliknya, dia aktif berdakwah. Ini cara Herman membangun kembali nama baik, selain berbaur dengan masyarakat.
Selama Ramadan lalu, dia tercatat dua kali menjadi penceramah dan empat kali bertugas sebagai imam salat tarawih di Masjid Al-Ikhlash. Ini menjadi bukti bahwa dirinya telah diterima kembali di masyarakat yang pernah mewaspadai gerak-geriknya.
Usai salat isya malam itu, dia naik ke mimbar. Herman mengenakan peci putih, busana muslim dan berbalut sarung. Orangtua, anak muda, dan bocah-bocah di masjid itu menyimak ceramahnya yang lantang.
Dia menyampaikan ceramah tentang beberapa amal saleh yang perlu dilakukan manusia agar terhindar dari malapetaka.
Sama sekali tak ada pesan bermuatan radikal yang terlontar. Beberapa ayat suci yang dia kutip terdengar fasih.
“Masyarakat awalnya sempat memandang sebelah mata, apalagi kasus terorisme, secara umum masyarakat menganggap saya penjahat. Tapi karena sering tampil ceramah, mereka jadi tahu pemahaman saya," katanya.
Diberikan KesempatanHerman menambahkan, sebelum terlibat kasus, dia sering memberi tausiah di majelis taklim, baik remaja maupun ibu-ibu, di masjid tersebut. Karena itu, dia enggan menolak permintaan ceramah setelah bebas.
“Kalau diundang ceramah saya penuhi, sehingga mereka memandang saya normal lagi. Itu yang kami inginkan,” katanya.
Salah satu pengurus Masjid Al-Ikhlash Muhammad Azhari bercerita, marbut sempat rapat kecil sebelum memutuskan untuk menerima Herman kembali.
Azhari mengatakan, pembicaraan itu untuk memastikan bahwa Herman sungguh-sungguh ingin mengubah jalan hidupnya. Kesempatan akhirnya diberikan.
“Karena beliau sudah menunjukkan perubahan, secara tegas menyatakan bersalah dan ingin kembali ke jalan yang benar, kami terima dan jadwalkan [ceramah],” ujarnya.
“Ketika beliau jadi imam,
alhamdulillah pada suka karena bacaannya seperti imam Masjidil Haram, orang yang pernah umrah dan haji bilang, seperti berada di Mekah,” tambah Azhari.
 Masjid Al-Ikhlash, tempat Herman berceramah. (CNN Indonesia/Prima Gumilang) |
Ayah Herman, kata Azhari, juga tokoh agama sekaligus penasihat masjid yang membina jamaah setempat. Keluarganya pun syok saat mengetahui Herman ditangkap polisi. Para pemuda masjid juga kena imbasnya karena polisi mencurigai orang-orang di sekitar Herman.
“Kami dicurigai memiliki pemahaman yang sama, padahal enggak ada sangkut pautnya. Beliau murni sendiri beraktivitas itu. Enggak ada yang menyangka, memang [Herman] sering keluar kota, tahu-tahu di berita sudah ada fotonya,” terang Azhari.
Sebelumnya, kata Azhari, seniornya itu memang memiliki pemahaman yang berbeda dari mayoritas pemuda di lingkungannya. Banyak yang tak setuju dengan jalan pikiran Herman. Sejak itu mereka lebih hati-hati dalam pergaulan.
“Dari sekian remaja di sini, hanya beliau saja yang memilih jalan itu,” kata Azhari di Masjid Al-Ikhlash.
Sejak kecil hingga dewasa, Herman mengenyam bangku sekolah berbasis agama. Dia jebolan UIN Jakarta dan sempat kuliah di Lembaga Bahasa Arab Ma'had Aly Nu'aimy Jakarta Selatan.
Anak kedua dari tiga bersaudara ini pernah aktif di Partai Keadilan Sejahtera pada 2008. Dia mengaku masuk kepengurusan korps satuan tugas keadilan (Korsad) PKS. Herman juga mulai membaca buku yang mengulas tentang jihad.
“Saya disuruh baca buku-buku perjuangan, akhirnya sampai di luar kontrol PKS, saya jalan sendiri,” kata Herman.
Tak puas dengan kelompoknya, dia pun mencari ruang lain untuk menyalurkan semangat jihad yang membara. Herman kemudian bergabung dengan majelis taklim yang lebih eksklusif, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI).
Di sana, dia bertemu Dulmatin, teroris kakap yang tewas di Pamulang, Tangerang Selatan. Herman juga sempat mengaji di rumah Reza Sungkar, sepupu artis Shireen Sungkar, yang ikut latihan militer di Aceh.
“Awalnya dari situ. Kalau PKS kan dakwah politik, ada juga jemaah yang fokus jihad, saya lebih tertarik itu dulu, gabung MMI,” ujarnya.
 Abu Bakar Baasyir pendiri Majelis Mujahidin Indonesia saat di persidangan. ( REUTERS/Darren Whiteside) |
Herman saat itu berniat jihad ke Palestina. Namun dia dikirim ke Aceh lebih dahulu untuk mengikuti pelatihan militer. Kala itu bersamaan dengan tewasnya tokoh utama pemboman Bali tahun 2002 dan 2005, Noordin M Top.
“Saat itu mau pulang ke Jakarta karena lagi ramai [Noordin M Top meninggal], tapi ditahan untuk melanjutkan program, akhirnya naik gunung, babat lapangan untuk tempat latihan,” kenangnya.
Herman dan para kombatan di Aceh dilatih oleh jebolan kelompok militan Moro Islamic Liberation Front (MILF) asal Filipina. Sementara Dulmatin adalah koordinator pelatihan militer. Mereka dibekali ilmu militer, penggunaan senjata, strategi perang.
Polisi kemudian mencium aktivitas itu. Setelah masa pengejaran satu bulan, baku tembak pun pecah. Herman ditangkap pada 2010 dan dihukum atas perkara tindak pidana terorisme.
Awalnya dia ditahan di Polda Aceh, kemudian dipindah ke Mako Brimob Depok, Polda Metro Jaya, dan berakhir di LP Cipinang. Di dalam penjara, Herman memperdalam ilmu jihad karena disatukan dengan tahanan narapidana kasus terorisme.
“Kami interaksi dengan mereka, satu kamar dengan ustaz Aman Abdurrahman. Tulisannya menjadi rujukan anak-anak ISIS di Indonesia,” kata Herman.
Aman Abdurrahman adalah teroris yang dipenjara karena kasus bom Cimanggis pada 2003. Kini dia masih ditahan di LP Nusakambangan. Herman mengatakan, hasil perintah dan fatwa Aman mendorong aksi terorisme di beberapa tempat, seperti di Thamrin dan Kampung Melayu, Jakarta.
“Itu turunan dari fatwa ustaz Aman. Target mereka yang paling utama adalah aparatur negara seperti TNI dan Polri,” ujar Herman.
Tiga tahun hidup di bui, pola pikir Herman semakin ekstrem. Suatu ketika dia berniat merekrut seorang ikhwan yang baru dioper ke LP Cipinang. Herman mendoktrinnya dengan segudang materi yang dimiliki.
“Setelah amunisi saya habis, gantian dia menjelaskan, tapi sebaliknya justru saya yang terekrut dia. Pikiran saya mulai terbuka,” kata Herman.
“Mungkin kalau enggak ketemu ikhwan ini, saya sudah ikutan aksi bom Thamrin kemarin [2016]. Sunakim [pelaku bom bunuh diri] itu kawan dekat saya,” tambahnya.
Ikhwan yang dimaksud adalah Sofyan Tsauri, kombatan asal Aceh. Dia memberikan materi pembanding dengan pemahaman ISIS. Sofyan juga mengarahkan Herman untuk mengaji dengan beberapa ustaz agar memperoleh ilmu dan perkembangan baru.
 Mantan narapidana terorisme Sofyan Tsauri. (CNN Indonesia/S. Yugo Hindarto) |
Namun demikian, Herman merasa yang paling signifikan dalam mengubah mazhab pemikirannya adalah buku
The Letters From Abbottabad. Buku tentang surat-surat yang ditulis Osama Bin Laden ini banyak mengkritisi perjalanan jihad.
Dia mulai menyadari, banyak kekeliruan yang dilakukan para mujahid, khususnya aksi pengeboman dan penembakan dengan sasaran yang tidak jelas. “Itu membuka wawasan saya, menggabungkan dalil Quran, sunah, dan realita. Itu bisa diterima. Saya mulai rujuk,” kata Herman.
Dia menilai, gerakan pemikiran ISIS sangat ekstrem dalam mengafirkan manusia. Herman sempat berdiskusi langsung dengan Aman Abdurrahman tentang umat muslim di Indonesia.
“Boleh enggak kita memastikan mayoritas penduduk Indonesia itu muslim?” tanya Herman kepada Aman.
Dijawab dengan tegas, tidak.
Menurut Aman, penduduk Indonesia mayoritas mengklaim atau mengaku sebagai muslim. Aman meragukan keislaman kaum muslim di Indonesia dan menganggap mereka sebagai kafir. Alasannya, penduduk Indonesia menganut agama demokrasi.
“ISIS menganggap mayoritas penduduk Indonesia itu keislamannya diragukan. Ini membuat tanda tanya besar saya. Kok teganya, dia berani berpendapat seperti itu, bahwa penduduk Indonesia mayoritas tidak jelas keislamannya,” kata Herman.
Dua tahun sebelum bebas, Herman mulai rujuk dan membenahi diri. Berangkat dari pemahaman yang dipelajari, dia bertekad tak ingin mengulangi kesalahan yang sama dua kali.
Dia pun bergabung dengan Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT), kelompok yang dibentuk untuk mewaspadai paham radikal.
“Kami menjaga yang belum tercemar. Kalau mereka yang sudah melotok susah, biarkan saja, kita potong satu generasi. Kita selamatkan generasi berikutnya,” ujar Herman.
Dia berpendapat, pemerintah perlu menggalakkan program deradikalisasi. Menurutnya, para mantan teroris memilih kembali ke jalan kelam karena dipengaruhi pemahaman agama yang sempit, lingkungan sosial yang tidak mendukung, dan basis ekonomi yang lemah.
Herman juga berharap pemerintah memberdayakan eks kombatan agar mereka merasa dimanusiakan dan tidak dimarjinalkan. Pemberdayaan ini, kata Herman, juga untuk meningkatkan perekonomian mereka.
“Sebagian orang ada yang enggak ketemu nasi, akhirnya balik lagi diajak teman [teroris] daripada menganggur,” ujarnya.