Jakarta, CNN Indonesia -- Mantan atase imigrasi Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) untuk Malaysia Dwi Widodo didakwa menerima suap Rp524,35 juta dan RM 63.500 terkait pengurusan paspor dengan metode
reach out dan penerbitan
calling visa. Dwi juga didakwa menerima
voucher hotel senilai Rp10,8 juta.
"Terdakwa selaku atase imgrasi KBRI untuk Malaysia menerima hadiah sebagai imbalan atau
fee pengurusan paspor dan
calling visa terkait kewenangannya memeriksa kelengkapan dokumen warga negara asing yang mengajukan permohonan calling visa di KBRI Kuala Lumpur," ujar jaksa penuntut umum Dame Maria seperti yang tercantum dalam surat dakwaan, Jumat (11/8).
Jaksa menyatakan Dwi menerima suap dari delapan perusahaan yakni PT Anas Piliang Jaya, PT Semangat Jaya Baru, PT Trisula Mitra Sejahtera, PT Sandugu International, PT Rasulindo, PT Atrinco Mulia Sejati, PT Afindo Prima Utama, dan PT Alif Asia Africa.
Penerimaan suap itu, kata jaksa, berawal dari Nazwir Anas, pemilik PT Anas Piliang yang meminta bantuan pada Dwi untuk menerbitkan
calling visa terhadap pelanggannya yang berasal dari sejumlah negara di Afrika.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Penerbitan
calling visa ini termasuk ilegal karena tidak diatur dalam UU dan melibatkan agen perseorangan atau calo. Dwi menyanggupi permintaan Nazwir dengan imbalan suap sebesar Rp73,5 juta untuk 143 permohonan
calling visa.
"Permintaan serupa juga dilakukan pada tujuh perusahaan lain dengan imbalan sebesar US$100 sampai US$200 untuk setiap
calling visa yang diterbitkan," katanya.
Sementara terkait pengurusan paspor dengan metode
reach out atau jemput bola, muncul atas permintaan mantan rekan kerjanya di KBRI Malaysia, Satya Rajasa, untuk pembuatan paspor Tenaga Kerja Indonesia (TKI).
Dwi menyanggupi dengan syarat pemohon paspor minimal 50 sampai 200 orang per hari menggunakan perusahaan Malaysia.
"Atas pengurusan paspor itu, terdakwa meminta imbalan pada Satya Rajasa," ucap jaksa.
Uang yang diterima Dwi kemudian dibagikan kepada 82 orang staf KBRI Malaysia sebagai Tunjangan Hari Raya (THR).
Atas perbuatannya, Dwi didakwa melanggar pasal 11 UU 20/2001 juncto Pasal 65 Ayat 1 KUHP. Adapun, Dwi menyatakan tak mengajukan eksepsi atau nota keberatan.