Jakarta, CNN Indonesia -- Kementerian Hukum dan HAM memberikan potongan masa hukuman alias
remisi narapidana korupsi pada peringatan HUT ke-72 RI. Remisi yang diberikan kepada penghuni lembaga pemasyarakatan (Lapas) yang telah menjalani masa hukuman, lagi-lagi mendapat penolakan dari berbagai pihak.
Pengajar Politeknik Ilmu Pemasyarakatan, BPSDM Kementerian Hukum dan HAM, Akbar Hadi Prabowo menjelaskan, setidaknya ada tiga keuntungan yang didapat pemerintah terkait pemberian remisi tersebut
Pemberian resmi telah diatur dalam Undang Undang (UU) Pemasyarakatan Nomor 12 Tahun 1995. Dalam Pasal 14 ayat 1 huruf i dijelaskan, narapidana berhak mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“(Remisi) Juga sebagai salah satu alat modifikasi perilaku warga binaan. Salah satu instrumen untuk warga binaan atau narapidana,” katanya kepada
CNNIndonesia.com, Jumat (18/8).
Artinya, ia menjelaskan, jika warga binaan tidak melakukan pelanggaran maka akan mendapatkan potongan hukuman pidana sesuai dengan ketentuan berlaku. Warga binaan tidak akan mendapat remisi jika melakukan sebaliknya.
Banyaknya potongan bervariasi dari satu bulan hingga enam bulan. Besaran tersebut tergantung lamanya warga binaan menjalani hukuman.
Kedua, Akbar Hadi mengungkapkan, pemberian
remisi narapidana dapat menghemat anggaran negara. Pada tahun ini, khusus di hari kemerdekaan, Kementerian Hukum dan HAM memberikan remisi umum (RU) kepada 92.816 narapidana.
Sebanyak 90.372 narapidana mendapat remisi atau RU I, sedangkan 2.444 narapidana langsung bebas usai menerima remisi atau RU II.
Penghematan anggaran makan 90.372 narapidana penerima RU I mencapai Rp98.615.979.000, sedangkan penghematan anggaran makan 2.444 narapidana penerima RU II mencapai Rp3.485.223.000. Sehingga total penghematan anggaran makan narapidana mencapai Rp102.101.202.000.
“Rata-rata perhari napi mendapatkan uang makan Rp14.700 sebanyak tiga kali, tergantung wilayahnya. Itu satu hari. Kalau misalnya warga binaan mendapatkan remisi tiga bulan, jadi tinggal dikalikan saja 90 hari kalli 3,” kata Akbar Hadi mengungkapkan.
Keuntungan ketiga dari
remisi napi koruptor, ia menambahkan, akan menyusutkan jumlah penghuni lapas yang selama ini berkutat dengan kelebihan kapasitas.
Akbar Hadi memaparkan, harus dibedakan antara dijerakan atau memberikan efek jera dengan pembinaan yang dilakukan Lapas. Efek jera melekat pada aspek pidana.
Artinya, ketika seseorang divonis hakim, hukum telah diberlakukan sehingga ada aspek keadilan. “Di situ artinya penjeraan diterapkan. Rumahnya disita, badannya ditahan, asetnya diblokir,” ucapnya.
Jika seseorang melakukan upaya hukum lain, seperti banding, juga masih dalam konteks efek jera. “Kalau mereka tidak jera mungkin dari situ,” ucapnya.
Ia menjelaskan, ketika jaksa melakukan ekskusi seseorang ke Lapas atau telah berkekuatan hukum tetap, maka otomatis tanggung jawab sudah beralih. “Hakim menghukum, kita membina. Kita bina bukan dihukum lagi. Jadi yang berlaku adalah pembinaan, karena pada akhirnya mereka akan kembali ke masyarakat,” bebernya.
Konsep pembinaan, Akbar Hadi mengungkapkan, adalah bagaimana mengembalikan seseorang menjadi lebih baik lagi ketika nantinya bebas atau usai menjalani hukuman.
Mengenai desakan berbagai pihak agar Kemenkum HAM tidak memberikan remisi kepada para koruptor, ia pun penolaknya. Selain sudah diatur dalam UU, pemberian remisi tersebut juga merupakan bagian dari sistem pembinaan.
“Sistem penjara, dijerakan dengan berbagai macama cara seperti sarana prasana. Dengan sistem pemasyarakatan, tidak dijerakan tapi dibinakan, agar bisa kembali masyarakat, agar berguna bagi diri sendiri, keluarga dan masyarakat,” katanya menjelaskan.
Ia mengungkapkan, konsep pemidaan Indoneisa sudah beralih dari pemenjaraan ke pemasyarakatan. Proses itu telah terjadi sejak 1964. Jika Kemenkum HAM mengikuti desakan berbagai pihak soal remisi, maka Indonesia akan kembali ke zaman Belanda atau abad pertengahan.
“Sistem dan konsep perlakuan terhadap napi sekarang jadi lebih humanis, lebih menambah kepercayaan diri, baik bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat nantinya,” katanya menegaskan.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Lalola Ester menilai, alasan Kemenkumham menghemat anggaran dengan memberi remisi bagi narapidana korupsi tak masuk akal. Pemerintah mengklaim Pemberian remisi bisa menghemat anggaran hingga sekitar Rp102 miliar.
Lalola menyadari permasalahan lembaga permasyarakatan maupun rumah tahanan saat ini adalah over capacity atau kelebihan kapasitas. Namun menurutnya hal itu tak lantas membuat pemberintah memberikan remisi hanya untuk menghemat anggaran.
“Remisi harusnya bukan jadi sarana untuk menghemat anggaran. Ada cara lain tanpa harus diskon besar-besaran untuk terpidana, apalagi korupsi,” ujar Lalola kepada CNNIndonesia.com, Jumat (18/8).
Penolakan tersebut, terkait remisi yang didapat dua terpidana kasus korupsi. Yakni, mantan PNS Ditjen Pajak Gayus Halomoan P Tambunan dan mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin.
"Jadi ini, kalau yang "menonjol" ada Nazaruddin ini remisi lima bulan, kalau Gayus enam bulan," kata Plt Direktur Jenderal Pemasyarakatan Kemenkumham Ma'mun di gedung Kemenkumham Jakarta, Kamis (17/8), seperti dilansir dari Antara.