Jakarta, CNN Indonesia -- Huru-hara di sepetak lahan yang berada di kelurahan Cigugur, Kecamatan Cigugur, Kuningan, Jawa Barat selesai walau sesaat.
Kemarin, Kamis (24/8), masyarakat adat Sunda Wiwitan di Cigugur melakukan aksi adang petugas Pengadilan Negeri Kuningan yang hendak mengeksekusi lahan adat. Setelah bertahan sejak pagi hingga petang, perjuangan masyarakat adat itu berhasil. Panitera PN Kuningan menyatakan eksekusi pada hari tersebut batal.
Namun, eksekusi lahan yang ditempati warga penganut kepercayaan Sunda Wiwitan itu nyatanya belum lah berhenti sampai di situ saja.
Panitera Pengadilan Negeri Kuningan, Jawa Barat, Andi Lukmana, mengatakan meski penguasaan objek gagal dilakukan kemarin, tak berarti pihak pemenang perkara, yakni Jaka Rumantaka kehilangan haknya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Hak-hak penggugat atau Pak Jaka tidak hilang. Jika suatu saat dia mengajukan eksekusi lagi, itu boleh. Hak dia selaku pemenang dalam perkara itu," kata Andi di Kuningan, Kamis (24/8).
Konflik Antara Adat dan Negara di Era Modern
Menanggapi ketegangan masyarakat adat di kaki gunung Ciremai tersebut, pengamat Komunikasi Budaya dari Universitas Padjajaran, Deddy Mulyana mengatakan bahwa hal itu terjadi akibat komunikasi yang tak seimbang.
Saat membicarakan soal adat biasanya tak ada unsur ekonomi yang dimunculkan sedikit pun.Deddy Mulyana |
Menurutnya, konflik antara masyarakat adat dan aparatur negara di zaman modern memang masih kerap terjadi.
"Puluhan, bahkan mungkin ratusan kasus serupa terjadi," kata Deddy saat diwawancara telepon
CNNIndonesia.com Jumat (25/8) pagi.
Dalam hal ini umumnya masyarakat adat berjuang mempertahankan tanah dan wasiat leluhurnya. Di lain pihak, aparat negara dan penegak hukum mencoba melaksanakan kewajibannya.
"Ini masalah komunikasi. Aparat memaksakan kehendak, dan masyarakat adat mencoba mempertahankan. Aspek penting di sini adalah keduanya tidak mencoba membuka pikiran dengan menyelami pemikiran masing-masing," kata dia.
Menurut Deddy masyarakat adat Sunda Wiwitan yakin tanah mereka adalah tempat hidup yang tak bisa ditinggalkan begitu saja. Hal ini terletak pada persoalan kenangan, memori, dan kepercayaan yang dianut masyarakat Sunda Wiwitan ini.
Hal tersebut tak ada hubungannya sama sekali dengan soal materi dan kepentingan ekonomi.
"Saat membicarakan soal adat biasanya tak ada unsur ekonomi yang dimunculkan sedikit pun. Budaya serta kenangan yang telah melekat pada suatu barang, kalau di sini tanah, tempat tinggal akan jauh lebih mahal dari harga apapun," kata dia.
 Masyarakat adat Sunda Wiwitan Cigugur, Kuningan terlibat aksi dorong dengan polisi saat mencegah aparat mengeksekusi lahan adat, 24 Agustus 2017. (CNN Indonesia/Bimo Wiwoho) |
Atas dasar itu, mantan Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Unpad tersebut menilai semestinya pemerintah maupun aparat tak berlaku sewenang-wenang dengan mengeyampingkan adat dan leluhur yang dianut warga Sunda Wiwitan ini.
Mau bagaimana pun menurutnya sebuah budaya seharusnya dihargai dan dilindungi baik secara formal maupun nonformal.
"Saya yakin, aparat tahu arti penting tanah tersebut untuk masyarakat Sunda Wiwitan ini. Tapi, terkadang hukum kita memang terlampau menutup mata pada hal-hal yang dianggap sepele ini, padahal jelas ini adalah satu dari sekian cagar budaya Indonesia," kata Deddy.
Konflik antara masyarakat Sunda Wiwitan dengan aparat penegak hukum dan pemerintah ternyata tak hanya terjadi kali ini saja.
Salah satunya ketika masyarakat adat yang bisa menuliskan aliran kepercayaan tersebut di KTP. Terbaru, pada 22 Agustus lalu tetua Badui dari Desa Kanekes, Lebak, Banten menuntut diperbolehkan memasukkan keyakinan mereka, Selam Sunda Wiwitan, dalam kolom agama di e-KTP.
Hal tersebut merujuk pada kebijakan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo agar penganut aliran kepercayaan mengosongkan kolom agama di e-KTP. Saat ini kolom agama yang dicantumkan pada KTP hanya agama resmi yang diakui pemerintah yakni Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Buddha, dan Konghucu.
"Soal kepercayaan ini adalah perlakuan diskriminatif yang diterima Warga Wiwitan, jangan kaget, soal lahan ini hanya perlakuan sekian dari berbagai perlakuan tidak adil yang diterima mereka," kata Komisioner Komisi Nasional Perempuan, Khoirullah.
Dalam catatan Komnas Perempuan
diskriminasi terhadap keyakinan leluhur disebutkan telah menimbulkan kasus kekerasan terhadap para perempuan penganut kepercayaan leluhur.
Komnas Perempuan mencatat 115 kasus diskriminasi terhadap perempuan sejak 2010 hingga 2015. Dari 115 kasus, 87 peristiwa kekerasan dan diskriminasi yang dialami oleh 57 perempuan penganut kepercayaan leluhur dari 11 komunitas yang tersebar di sembilan provinsi.
Khoirullah mengatakan kelompok masyarakat adat tak dipungkiri kecewa dengan penetapan pemerintah bahwa agama leluhur mereka hanya dijadikan sebagai aliran kepercayaan atau animisme.
"Kekecewaan tentu telah lama dirasakan oleh warga Wiwitan, tapi mau bagaimana pun diperjuangkan, perlakuan tidak nyaman atau diskriminatif tetap diterima mereka," kata dia.