Konflik antara masyarakat Sunda Wiwitan dengan aparat penegak hukum dan pemerintah ternyata tak hanya terjadi kali ini saja.
Salah satunya ketika masyarakat adat yang bisa menuliskan aliran kepercayaan tersebut di KTP. Terbaru, pada 22 Agustus lalu tetua Badui dari Desa Kanekes, Lebak, Banten menuntut diperbolehkan memasukkan keyakinan mereka, Selam Sunda Wiwitan, dalam kolom agama di e-KTP.
Hal tersebut merujuk pada kebijakan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo agar penganut aliran kepercayaan mengosongkan kolom agama di e-KTP. Saat ini kolom agama yang dicantumkan pada KTP hanya agama resmi yang diakui pemerintah yakni Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Buddha, dan Konghucu.
"Soal kepercayaan ini adalah perlakuan diskriminatif yang diterima Warga Wiwitan, jangan kaget, soal lahan ini hanya perlakuan sekian dari berbagai perlakuan tidak adil yang diterima mereka," kata Komisioner Komisi Nasional Perempuan, Khoirullah.
Dalam catatan Komnas Perempuan
diskriminasi terhadap keyakinan leluhur disebutkan telah menimbulkan kasus kekerasan terhadap para perempuan penganut kepercayaan leluhur.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Komnas Perempuan mencatat 115 kasus diskriminasi terhadap perempuan sejak 2010 hingga 2015. Dari 115 kasus, 87 peristiwa kekerasan dan diskriminasi yang dialami oleh 57 perempuan penganut kepercayaan leluhur dari 11 komunitas yang tersebar di sembilan provinsi.
Khoirullah mengatakan kelompok masyarakat adat tak dipungkiri kecewa dengan penetapan pemerintah bahwa agama leluhur mereka hanya dijadikan sebagai aliran kepercayaan atau animisme.
"Kekecewaan tentu telah lama dirasakan oleh warga Wiwitan, tapi mau bagaimana pun diperjuangkan, perlakuan tidak nyaman atau diskriminatif tetap diterima mereka," kata dia.