Pembangkangan Brigjen Aris Budiman dan Suara Lantang LSM

CNN Indonesia
Rabu, 30 Agu 2017 20:02 WIB
Anggota Pansus Angket KPK Arsul Sani mengkritik sikap LSM yang mendesak agar Dirdik KPK dipecat karena hadir dalam rapat dengan Pansus Hak Angket terhadap KPK.
Sejumlah LSM mendesak Direktur Penyidikan KPK Aris Budiman dipecat. (CNN Indonesia/Abi Sarwanto)
Jakarta, CNN Indonesia -- Direktur Penyidikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Brigadir Jenderal Aris Budiman memutuskan hadir memenuhi undangan rapat dengan Panitia Khusus (Pansus) hak angket DPR terhadap KPK, Selasa (29/8) malam.

Padahal, sebelumnya pimpinan KPK melarang Aris memenuhi undangan Pansus.

Dalam rapat itu, Aris mengungkapkan sejumlah permasalahan di internal KPK. Mulai dari friksi di internal penyidik, dan peran Novel Baswedan yang dianggapnya sebagai sosok berkuasa di lembaga antirasuah itu.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Belum genap 24 jam, setelah rapat di gedung DPR itu, sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat bersuara lantang. Mereka mendesak agar Brigjen Aris dipecat.

Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman menyebar pesan berantai kepada awak media, Rabu (30/8).

Dalam pesan itu, dia mengatakan aris tidak layak menjabat Dirdik KPK. Tindakan Aris hadir dalam rapat dengan Pansus Hak angket, kata dia insubordinasi. "Pemberontakan," kata Boyamin.

Selain MAKI, Koalisi Masyarakat Sipil Anti Korupsi yang terdiri dari LBH Jakarta, Indonesia Corruption Watch (ICW), dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) juga menyuarakan hal serupa. Lewat keterangan tertulisnya, koalisi menyatakan: "Pecat direktur penyidikan KPK segera!".

Desakan LSM itu menuai kritik anggota DPR. Anggota Pansus Angket KPK Arsul Sani mengaku tidak sepakat dengan desakan sejumlah LSM yang meminta Aris Budiman dipecat.

Menurutnya, kehadiran Aris dalam Rapat Dengar Pendapat Umum dengan Pansus Angket KPK, semalam, adalah hak sebagai warga negara untuk menyampaikan pendapat.

"Jangan kalau sesuatu yang dianggap againts KPK, tidak berkesesuaian dengan perspektif teman-teman elemen masyarakat sipil yang menjadi pendukung KPK kemudian diusulkan dipecat," ujar Arsul di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (30/8).

Arsul menuturkan, LSM yang mendukung KPK seharusnya bisa memandang masalah secara proporsional.
Menurutnya, tindakan Aris tidak jauh berbeda dengan tindakan penyidik KPK Novel Baswedan yang memberi keterangan kepada media.

Politikus PPP ini mengatakan, jika LSM meminta agar Aris dipecat, Novel juga harus dipecat. Ia berpendapat LSM yang mendesak Aris dipecat akan dianggap berpihak jika tidak turut menuntut Novel dipecat.

"Jadi proporsional. Kita ingin juga teman-teman LSM melihat itu tidak dari sebelah mata, harus dengan kedua mata," ujarnya.

Masalah Internal

Terpisah, Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menilai, keterangan Aris semakin menambah keyakinannya bahwa ada masalah serius di tubuh KPK saat ini.

Ia berkata, KPK saat ini disusupi oleh oknum berkepentingan.

"Keterangan saudara Aris ini harus didalami, dalam kerangka bahwa KPK yang tertutup ini sudah dipakai segelintir orang, dibajak dari dalam untuk kepentingan pribadi," ujar Fahri di Gedung DPR, Jakarta.

Fahri mengaku, kasus korupsi mantan Bendum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin merupakan gambaran bagaimana KPK sebenarnya.

Ia menyebut, dalam kasus itu ada penyidik KPK yang bersekongkol dengan Nazaruddin untuk menjerat mantan Ketum Demokrat Anas Urbaningrum.

Bahkan, dalam kasus lain ada sejumlah penyidik KPK yang bekerjasama dengan sejumlah pengacara untuk kepentingan tertentu.

"Ada lawyer yang kalau kita pakai dia hukumannya tambah berat. Ada lawyer yang dipakai untuk bernegosiasi," ujarnya.

Lebih dari itu, ia berharap Presiden Joko Widodo bisa mengambil sikap atas permasalahan yang terjadi di KPK. Pasalnya, masalah di KPK bisa memperburuk citra Indonesia di mata dunia, khususnya bagi iklim investasi ekonomi.

"Kalau orang luar melihat Indonesia negara korup, sementara presiden tidak mengendalikan pemberantasan korupsi, maka dunia internasional akan mengatakan jangan investasi di Indonesia. Kalau itu yang terjadi, Pak Jokowi juga yang kena beban," ujar Fahri.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER