Jakarta, CNN Indonesia -- Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengabulkan gugatan perwakilan kelompok (class action) warga Bukit Duri terhadap Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan sejumlah pihak tergugat lainnya yang melakukan penggusuran.
Keputusan itu diucapkan Hakim Ketua Mas'ud dalam sidang putusan gugatan bernomor 262/PDT.G/2016/PN.JKT.PST di PN Jakarta Pusat, Rabu sore (25/10).
"Para tergugat telah lalai karena tidak mengindahkan ketentuan undang-undang sehingga unsur pelanggaran hukum telah terbukti," ucap Hakim Mas'ud saat membacakan putusan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hakim Mas'ud lalu menjelaskan bahwa tanggal 12 Januari 2016 Pemprov DKI Jakarta melaksanakan proyek normalisasi Kali Ciliwung.
Kemudian Pemprov DKI Jakarta mengeluarkan surat peringatan 1 pada 18 Desember 2016 agar warga RW 10, 11, 12 Bukit Duri, membongkar bangunannya. Lalu tanggal 28 Desember Pemprov DKI Jakarta mengeluarkan surat peringatan 2.
Majelis hakim tidak menganggap Pemprov DKI Jakarta salah ketika melaksanakan proyek normalisasi Kali Ciliwung demi menanggulangi banjir.
Namun, majelis hakim menilai ada pelanggaran yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta karena tidak pernah melakukan musyawarah. Musyawarah yang dimaksud yakni diskusi perihal ganti rugi atas bangunan yang dimiliki warga selama ini.
"Hal ini menyalahi hak-hak dari para penggugat," kata Hakim Mas'ud.
"Tidak mengindahkan Undang-Undang Dasar 1945 dan undang-undang terkait sehingga menimbulkan kerugian bagi para penggugat atau warga," lanjutnya.
Diketahui, warga RW 10, 11, 12 Kecamatan Tebet, Bukit Duri Jakarta Selatan melayangkan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 10 Mei 2016 lalu. Warga yang menggugat sendiri berjumlah 93 orang.
Mereka tidak menerima keputusan Pemprov DKI Jakarta yang menggusur 440 rumah warga demi memuluskan proyek normalisasi Kali Ciliwung.
Gugatan dilayangkan karena warga merasa tidak pernah diajak berdialog perihal proyek normalisasi Kali Ciliwung. Selain itu, warga juga mengklaim tanah yang didiaminya bukan tanah negara, namun Pemprov DKI Jakarta tidak pernah mendiskusikan uang kerahiman untuk setiap bangunan yang digusur.