Jakarta, CNN Indonesia -- Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Setya Novanto kembali mangkir dari panggilan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Senin (6/11).
Kuasa hukum Setnov, Fredrich Yunadi, mengatakan kliennya menolak datang hari ini karena KPK belum mendapat izin dari Presiden RI Joko Widodo.
"KPK wajib minta izin presiden, sebagaimana putusan MK Nomor 76/PUU-XII/2014," kata Fredrich saat dikonfirmasi
CNNIndonesia.com lewat pesan singkat, Senim (6/11).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang dimaksud Fredrich adalah soal uji materi Undang-Undang Nomor 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3).
Dalam putusan MK tersebut, Pasal 245 ayat (1) tidak berlaku sepanjang tidak dimaknai, 'Pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Presiden.'
Fredrich pun meminta KPK menghormati UU MD3 tersebut. Menurut dia, Setnov baru akan memenuhi panggilan KPK, setelah ada izin tertulis dari Presiden Jokowi.
"Itu undang-undang, KPK wajib menghormat putusan MK," ujarnya.
Fredrich mengatakan, surat ketidakhadiran kliennya tersebut dikirimkan secara resmi oleh Sekretariat Jenderal DPR yang ditandatangani Plt Sekretaris Jenderal DPR Damayanti.
Sebelumnya, Juru Bicara KPK Febri Diansyah menyatakan pihaknya telah menerima surat dari Sekretariat Jenderal DPR itu pagi tadi.
Pada hari ini seharusnya Setnov mendatangi Gedung KPK untuk menjalani pemeriksaan sebagai saksi untuk tersangka Direktur Utama PT Quadra Solution Anang Sugiana Sudiharjo.
Ini adalah panggilan kedua dari KPK terhadap Setnov untuk menjadi saksi atas Anang. Pada panggilan pertama pekan lalu, Setnov mangkir dengan alasan tengah turun ke konstituen di masa reses DPR.
Dan, kali ini, Setnov mangkir dengan dalih KPK belum mendapat izin dari Presiden merujuk pada pasal 245 ayat (1). Aturan dalam ayat itu tak berlaku dengan kondisi tertentu merujuk pada pasal 245 ayat (3). Pada ayat itu disebutkan ketentuan pada ayat (1) tak berlaku bila anggota DPR tertangkap tangan melakukan tindak pidana, tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau terhadap kemanusiaan dan keamanan negara, dan disangka melakukan tindak pidana khusus. Kejahatan korupsi merupakan salah satu tindak pidana khusus, yang diatur dalam undang-undang khusus.
(kid/gil)