Jakarta, CNN Indonesia -- Gencarnya pembangunan infrastruktur di Papua oleh Presiden Joko Widodo Jokowi disebut bukan satu-satunya solusi untuk mengatasi persoalan di Papua. Memberi keadilan hukum dan membuka lebar-lebar hak bersuara kepada warga Papua dipandang bisa membuat program Pemerintah lebih paripurna.
"Yang dibutuhkan teman-teman di Papua, sampai sejauh mana pemerintah berkomitmen soal akses kebebasan berserikat, berekspresi, dan konteks penegakkan hukum di Papua," kata Kepala Divisi Pembelaan HAM Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Arif Nur Fikri kepada CNNIndonesia.com, Minggu (10/12).
Diketahui, Jokowi saat ini tengah gencar melakukan pendakatan non-kekerasan di Papua lewat jalur infrastruktur. Ragam pembangunan dilakukan. Di antaranya, jalan raya Trans Papua yang diperkirakan akan mulai beroperasi pada 2018, distribusi listrik atau elektrifikasi secara penuh di Papua dan Papua Barat pada 2019, jembatan Holtekamp di Jayapura, Papua, dan pembangunan pelabuhan laut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, kata Arif, hadiah infrastruktur belum cukup karena tidak menjawab kebutuhan dari masyarakat Papua. Pembangunan yang dilakukan pemerintah, kata dia, saat ini tidak melihat aspek lainnya. Ini tak lepas dari sejumlah masalah pokok yang terus terjadi di Papua.
Pertama, masalah penegakan hukum. Komitmen ini diragukan mengingat masih maraknya kasus pelanggaran HAM di Papua. Sepanjang 2017, lanjutnya, setidaknya terjadi 61 kasus kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua. Kasus penganiayaan mendominasi dengan jumlah 24 kasus. Ini diikuti dengan kasus penembakan sebanyak 20 kasus.
Kedua, keadilan ekonomi. Kontras mencatat, eksploitasi sumber daya alam (SDA) di Papua, baik melalui PT Freeport maupun proyek The Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE), yang disponsori negara masih dilanggengkan.
Baginya, persoalan keadilan ekonomi ini terkait erat dengan kasus pelanggaran HAM. Hal ini bisa dilihat dalam pengamanan aparat terhadap PT. Freeport Indonesia yang patut diveluasi. Ia melihat dekatnya operasi keamanan tersebut dengan bisnis, yakni untuk mengamankan perusahaan semata, bukan untuk melindungi rakyat Papua.
Hal itu dibuktikan dengan pernah adanya riwayat gelontoran dana dari PT. Freeport kepada Polri untuk biaya pengamanan, pada 2011.
"Apakah soal bisnis pengamanan atau soal bisnis keamanan untuk proses penegakan hukum dan sebagainya? Kalau kita lihat kan tiap tahun terus dieksplor tentara, polisi, mengatasnamakan BKO (Bawah Kendali Operasi). Tapi sejauh mana sudah dilakukan atau dievaluasi oleh pemerintah," ujar Arif.
Pada 2011, Kontras pernah meminta informasi kepada Polri terkait dana pengamanan dari PT Freepoort. Itu kemudian dijawab dengan surat Kepolisian Negara Republik Indonesia daerah Papua Nomor B/918/IV/2011 tertanggal 19 April 2011, yang menyebutkan bahwa tiap anggota satgas pengamanan diberi Rp1.250.000. Dana itu langsung diberikan manajemen PT Freeport Indonesia kepada aparat.
 Seorang personal Brimob bersiap mengawal konvoi pekerja PT. Freeport Indonesia di terminal Gorong-gorong Timika, Mimika, Papua, Kamis (16/11). ( Foto: ANTARA FOTO/Jeremias Rahada) |
Totalnya, ada sebanyak 635 orang aparat TNI dan Polri yang ditugaskan untuk melakukan pengamanan objek vital PT. Freeport Indonesia mendapat jatah dana itu. Mereka terdiri dari 50 anggota Polda Papua, 141 Brimob Den B Timika, 180 Brimob Mabes Polri, 69 Polres Mimika, 35 Brimob Den A Jayapura, dan 160 anggota TNI.
Ketika itu, juru bicara PT Freeport Indonesia Ramdani Sirait juga mengakui pihaknya memberi dana kepada Polisi dan TNI sebesar US$ 14 juta. Hal itu diberikan demi membantu pengamanan TNI dan Polri terhadap keamanan PT. Freeport.
Meski begitu, Arif melanjutkan, bukan berarti masyarakat Papua tidak membutuhkan pembangunan. Namun, ini terkait dengan sejauh mana pembangunan tersebut sesuai dengan prosedur hukum dan konteks isu HAM.
"Saya tekankan lagi harus sesuai konteks isu HAM, kita butuh ekonomi, pembangunan infrastruktur, tapi tidak mengabaikan kelompok yang terdampak, harus ada penyelesaian secara menyeluruh," cetusnya.
Arif menyebut, yang menjadi kebutuhan bagi masyarakat Papua sebenarnya adalah pemenuhan hak dasar yang terkait dengan kebebasan berserikat dan mengeluarkan pendapat yang selama ini selalu dihalang-halangi pemerintah.
"Hak-hak fundamental (dasar) masyarakat Papua ini yang harus dikedepankan," ujarnya.
Terpisah, Kepala Perwakilan Komnas HAM Papua Frits B. Ramandey mengatakan, masalah di Papua diperparah dengan pola pendekatan keamanan yang bukannya berdampak pada penciptaan rasa aman, tetapi justru berujung pada terjadinya berbagai bentuk kekerasan dan pelanggaran HAM. Sementara, penegakan terhadap pelakunya kerap kali berujung nihil.
"Kekerasan demi kekerasan, selalu saja terjadi bagai perjamuan tanpa akhir, baik kekerasan yang menjadi korban adalah penduduk sipil maupun, yang menjadi korban aparat keamanan. Berbagai bentuk tindak kekerasan tersebut menjadi catatan hitam yang dari tahun ke tahun, selalu menumpuk dan tidak ada kejelasan siapa pelaku atau datang di balik berbagai tindak kekerasan yang telah merampas dan melukai sejumlah korban," tuturnya, seperti dikutip dari
Antara.
Bentuk-bentuk dugaan pelanggaran HAM itu, ia merinci, terkait dengan konflik pilkada, konflik kekerasan bersenjata di wilayah pegunungan dan di Tembagapura, serta konflik agraria antara masyarakat adat dan korporasi. Selain itu, masih ada PR tiga kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di Wamena, Wasior, dan Paniai.
"Berdasarkan berbagai fakta tersebut di atas, Komnas HAM sesuai dengan fungsi, tugas dan wewenang sebagaimana dimandatkan dalam peraturan perundang-undangan, memandang perlu untuk melakukan pemantauan dan penyelidikan terhadap berbagai peristiwa kekerasan yang terjadi di Papua," kata dia.
Berdasarkan data BPS, sebanyak 28,4% persen penduduk Papua dan 24,88 persen penduduk Papua Barat hidup di bawah garis kemiskinan. Angka kemiskinan ini lebih dari dua kali lipat dari angka nasional yang mencapai 10,7 persen. Padahal, Papua kaya sumber daya alam.
(arh/djm)