Drama Sidang Setnov, KPK Wanti-wanti Ada Sanksi Akting Sakit

Feri Agus | CNN Indonesia
Kamis, 14 Des 2017 17:32 WIB
Risiko hukum bagi mereka yang tidak kooperatif dalam proses hukum bisa dijerat Pasal 21 UU Tipikor tentang menghalangi atau merintangi proses hukum.
Terdakwa kasus dugaan korupsi e-KTP Setya Novanto, di gedung Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (13/12). Tindakan pura-pura sakit demi menghindari proses hukum disebut akan mendapat tambahan sanksi. (Foto: CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Jakarta, CNN Indonesia -- Drama sakit mantan Ketua DPR Setya Novanto dalam proses hukum kasus korupsi proyek e-KTP disebut harus menjadi pelajaran agar semua pihak tetap kooperatif dengan penegak hukum. Jika tidak, bakal ada sanksi hukum. Penegak hukum pun seharusnya memiliki rekam jejak bermain peran sakit agar bisa optimal menggarapnya.

"Semua pihak yang menjadi tersangka, terdakwa, atau bahkan saksi, supaya tidak menggunakan alasan sakit yang bisa menghindari atau menunda proses hukum," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah, lewat pesan singkat, Kamis (14/12).


Setnov, bekas Ketua Umum Partai Golkar, sempat mengaku sakit saat ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi e-KTP, pada Juli 2017. Hal itu dijadikannya alasan mangkir dari penggilan pemeriksaan KPK.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Usai ditetapkan sebagai tersangka untuk kedua kalinya, pada Oktober 2017, Setnov juga tak memenuhi panggilan, baik sebagai saksi maupun tersangka. Setnov kemudian mengalami kecelakaan ketika melarikan diri dari penangkapan KPK. Ia kemudian dilarikan ke rumah sakit. Ragam alasan penyakit disampaikan Kuasa Hukumnya.

Pada saat persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (13/12), Novanto kembali memainkan taktik diam dengan alasan sakit saat ditanya Ketua Majelis Hakim di awal persidangan. Padahal, pertanyaannya hanya seputar identitas diri. Akibatnya, sidang ditunda beberapa kali.

Beruntung, lanjut Febri, ada tim medis dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) dan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang profesional dan independen dalam melakukan pemeriksaan kesehatan dan menyatakan bahwa Setnov siap melanjutkan persidangan.

"KPK ucapkan terimakasih pada tim dokter ahli RSCM dan IDI. Pemberantasan korupsi memang butuh dukungan yang kuat dari berbagai pihak termasuk kalangan medis yang bekerja secara independen dan profesional," tutur dia.


Febri mengingatkan, ada risiko hukum bagi pihak-pihak yang tidak kooperatif dalam proses hukum seperti menghindari atau memperlambat proses hukum. Misalnya, Pasal 21 UU Tindak Pidana Korupsi tentang menghalangi atau merintangi proses hukum.

Pasal tersebut mencantumkan sanksi pidana penjara paling singkat tiga tahun dan maksimal 12 tahun dan atau denda paling sedikit Rp 150 juta dan maksimal Rp 600 juta.

Terpisah, pakar Psikologi Forensik Reza Indragiri Amriel menyatakan, taktik pura-pura sakit atau malingering lazim dilakukan pihak yang terjerat kasus hukum agar bisa berkelit atau mendapat keringanan hukuman. Untuk memastikannya, peran dokter krusial.

Hanya saja, taktik yang dilakukan Novanto pada persidangan Tipikor, Rabu (13/12), adalah malingering jenis false imputation alias pura-pura sakit yang tidak berhubungan dengan gejalanya. Sebab, Novanto mengaku mencret, namun gejalanya adalah gangguan pendengaran, gangguan mengolah informasi yang hilang, dan kesulitan bicara.

"Tidak ada hubungan antara jenis sakit dan bentuk-bentuk gejalanya," imbuh Reza.


Lantaran kelaziman itu, penegak hukum perlu membuat catatan khusus tentang rekam jejak malingering orang-orang yang pernah terkait kasus hukum. Catatan itu kemudian diserahkan kepada Hakim agar jadi pertimbangan dalam putusan. Selain itu, Mahkamah Agung perlu membuat panduan hukum soal ini.

"Bahwa terdakwa yang kedapatan melakukan malingering selama proses hukum, termasuk persidangan, dikenakan penambahan hukuman. Modus malingering-nya juga ditulis di naskah putusan," tandas Reza.

----

Catatan redaksi: Sebelumnya atribusi untuk Reza Indragiri Amriel tercatat dari Universitas Bina Nusantara. Redaksi mengkoreksi karena berdasarkan keterangan resmi Universitas Bina Nusantara, Sdr. Reza sejak 2014 sudah tidak tercatat sebagai pengajar di sana.

(arh/gil)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER