Jakarta, CNN Indonesia -- Tanah Abang kembali menjadi perbincangan. Kali ini lantaran gebrakan baru duet kepemimpinan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan Sandiaga Uno yang membuka akses seluas-luasnya bagi para pedagang kaki lima (PKL) berjualan di jalan raya Jati Baru, persis depan Stasiun KA Tanah Abang.
Dengan kata lain, kebijakan Anies-Sandi itu berarti menutup akses jalan bagi pengendara yang melintas, kecuali bus Transjakarta.
Komentar pedas sampai sumpah serapah pun mengalir deras. Masyarakat dan netizen mengaku tak habis pikir dengan kebijakan Anies-Sandi yang dinilai menabrak banyak aturan, tak terkecuali Undang-undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Nomor 22 Tahun 2009 yang menyebut bahwa rekayasa lalu lintas menjadi tugas kepolisian.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
 Sejumlah pedagang berjualan di bahu jalan di Tanah Abang. (Ilustrasi/CNN Indonesia/Hesti Rika). |
Suara ketidaksetujuan masyarakat tersebut salah satunya tertuang lewat petisi yang diteken puluhan juta orang di dunia maya. Berdasarkan laman
Change.org, sekurang-kurangnya 33 juta orang menandatangani petisi menolak kebijakan Anies-Sandi.
Melihat sejarah Tanah Abang sebagai pusat grosir terbesar se-Asia Tenggara itu, J.J Rizal, ahli sejarah mengatakan, Pasar Tanah Abang menjadi bagian dari pertumbuhan masyarakat asli Jakarta.
“Dulu sekali itu pasar kambing. Tapi, ini pasar sudah ada sejak Belanda, lama sekali pokoknya,” tutur dia ketika dihubungi
CNNIndonesia.com, Kamis (28/12) malam.
Pria yang karib disapa Bang Rizal ini pun menjelaskan asal muasal Tanah Abang yang kini menjadi ‘panggung’ para pemimpin Jakarta memenangkan hati masyarakat.
Singkat cerita, Pasar Tanah Abang yang sebelumnya dikenal sebagai Pasar Kambing berbenah. Bersamaan dengan kepemimpinan Ali Sadikin sebagai gubernur, dimana pedagang kambing digeser ke belakangan pasar tekstil.
Pada akhir Agustus 2013 silam, di masa kepemimpinan Joko Widodo yang kala itu menjabat sebagai gubernur berpasangan dengan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) kembali menata Pasar Tanah Abang.
“Jadi, memang Tanah Abang ini sudah bongkar pasang sejak lama. Setiap masa kepemimpinan pasti akan bongkar pasang,” terang J.J Rizal.
Ganti Pemimpin, Tanah Abang Ganti Wajah
Tanah Abang memang kerap berganti wajah. Setiap ganti pemimpin, Tanah Abang akan berganti wajah. Pada masa kepemimpinan Jokowi saat mengalahkan petahana Fauzi Bowo, para PKL menghuni Blok G Tanah Abang. Mereka sebelumnya menjajakan barang dagangannya di trotoar milik pejalan kaki.
Sayang, Blok G cuma bertahan beberapa bulan saja. Blok ini ditinggalkan konsumennya dan para pedagang mengeluhkan omzetnya yang jeblok. Kondisi ini tak berselang lama sejak Jokowi naik pangkat menduduki kursi sebagai orang nomor satu.
 Duet kepemimpinan Anies-Sandi membuka akses luas bagi para PKL untuk berjualan di Jalan Jati Baru dan melarang kendaraan melintas, kecuali bus Transjakarta. (CNN Indonesia/Ramadhan Rizki Saputra). |
Posisi Jokowi kala itu digantikan oleh Ahok. Setelah memutar otak, Ahok memutuskan membongkar Blok G untuk dijadikan pasar modern. Ia melarang mentah-mentah para PKL mangkal di trotoar. Trotoar pun bersih dari aktivitas jual-beli.
Namun, lagi dan lagi, kondisi itu tak bertahan lama. Ahok keburu dijerat dengan kasus penodaan agama. Ia lengser dari jabatannya. PKL pun kembali turun ke jalanan dan menguasai trotoar yang menjadi hak para pejalan kaki.
Kemudian, Anies-Sandi membuat gebrakan baru. Kebijakan pemimpin baru ini berbalik dari pemimpin-pemimpin sebelumnya. Berdalih ingin menyelamatkan usaha kecil dan menengah (UKM), Anies-Sandi malah membuka akses seluas-luasnya bagi para PKL untuk menggunakan bahu jalan sebagai lapak berdagang.
Tak hanya itu, Anies-Sandi bahkan memfasilitasi para PKL ini dengan membuat tenda-tenda berjualan.
Pengamat Politik dari LIPI Siti Juhro berpendapat, Tanah Abang memang sangat seksi bila digunakan sebagai komoditas politik untuk meraup kepercayaan masyarakat, dalam hal ini warga.
Namun, jika hal tersebut terjadi dalam ranah masa Pilkada atau Pemilu
“Kalau saja terjadi di masa Pemilu, bisa jadi memang ada komoditas politik di sana. Tetapi, untuk saat ini saya tidak bisa berkata ada (unsur politik),” kata Siti.
Kenapa? Karena Siti justru melihat hal ini sebagai bentuk evaluasi yang dilakukan pemimpin baru terhadap pemimpin lama. Misalnya, Jokowi mengevaluasi kebijakan Foke, dan Jokowi pun dievaluasi oleh mantan pasangannya sendiri, yakni Ahok.
“
Nah lepas itu, Ahok dievaluasi oleh Anies-Sandi,” kata Siti.
Namun, Siti pun mengingatkan agar para pemimpin tersebut mengevaluasi dengan bijak dan memang berpihak pada rakyat.
“Ya, jangan sampai mengevaluasi karena tidak suka sama orangnya, bukan karena melihat ketidaksinkronan dari kebijakan sebelumnya,” ungkap Siti.
Saat ini, ia tak ingin berspekulasi apakah kebijakan dari Anies-Sandi tersebut salah atau tidak. Ia hanya bisa menunggu hasil akhir dari kebijakan tersebut.
(bir)