Jakarta, CNN Indonesia -- Kuasa hukum Setya Novanto, Firman Wijaya mengatakan, selain ingin mengungkap nama besar yang terlibat dalam kasus korupsi proyek pengadaan e-KTP, pengajuan
justice collaborator (JC) kliennya tersebut juga terkait dengan nama-nama yang hilang di dalam surat dakwaan.
Pengajuan JC Setnov, kata Firman, semata-mata untuk kepentingan keadilan kliennya dalam kasus korupsi yang ditaksir merugikan negara hingga Rp2,3 triliun.
"Saya sebenarnya ingin mengatakan lebih jauh kalau pak Nov kepentingan keadilannya, terkait nama-nama yang hilang itu. Ini yang harus dituntaskan," tutur Firman di sela-sela sidang Setnov, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis (11/1).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tim kuasa hukum Setnov sejak awal sidang sudah mempermasalahkan hilangnya nama-nama penikmat uang proyek e-KTP, di antaranya nama Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Gubernur Sulawesi Utara Olly Dondokambey, dan Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly.
Selain nama-nama di atas, tim kuasa hukum Setnov juga menyorot hilangnya nama anggota DPR periode 2009-2014 lainnya, yang disebut menerima uang proyek e-KTP. Padahal dalam surat dakwaan mantan pejabat Kementerian Dalam Negeri Irman dan Sugiharto, mereka disebut menerima uang proyek e-KTP.
Nama-nama anggota DPR periode 2009-2014 penerima uang e-KTP, yang ada di dalam surat dakwaan Irman dan Sugiharto, di antaranya Melcias Marchus Mekeng menerima sebesar US$1,4 juta, Olly Dondokambey sebesar US$1,2 juta, Tamsil Lindrung US$700 ribu.
Kemudian Mirwan Amir US$1,2 juta, Arief Wibowo US$108 ribu, Chaeruman Harahap US$ 584 ribu dan Rp26 miliar, Ganjar Pranowo US$ 520 ribu, Agun Gunandjar Sudarsa US$1,047 juta, Mustoko Weni US$408 ribu, Ignatius Mulyono US$258 ribu.
Selain itu, Taufik Effendi US$103 ribu, Teguh Djuwarno US$167 ribu, Rindoko Dahono Wingit, Nu’man, Abdul Hakim, Abdul Malik Haramaen, Jamal Aziz dan Jazuli Juwaini masing-masing US$37 ribu.
Selanjutnya, Yasona Laoly US$84 ribu, Khatibul Umam Wiranu US$400 ribu, Marzuki Ali Rp20 miliar, serta Anas Urbaningrum sebesar US$5,5 juta.
"Intinya Pak Nov ingin memperjuangkan keadilan, ingin fair. Makanya kami ingin menanyakan nama-nama yang hilang. Ini mengusik rasa keadilan juga," tutur Firman.
Namun, Firman belum mau membeberkan nama-nama yang akan diungkap Setnov dalam kasus korupsi yang ditaksir merugikan negara hingga Rp2,3 triliun itu. Yang pasti, kata dia, proyek e-KTP senilai Rp5,8 triliun itu bukan proyek pribadi melainkan resmi milik pemerintah, lewat Kementerian Dalam Negeri.
"Tergantung kebutuhan nanti, bisa kita kluster. Ini bukan proyek pribadi Novanto, ini proyek resmi," kata dia.
Setnov resmi mengajukan permohonan diri menjadi JC dalam korupsi proyek e-KTP kemarin sore. Surat tersebut sudah diterima penyidik KPK. Saat ini, lembaga antirasuah bakal mempelajari permohonan JC yang diajukan Setnov.
Ada sejumlah syarat yang harus dipenuhi Setnov sebelum pimpinan KPK menetapkan status JC dalam kasus e-KTP, seperti mengakui perbuatannya, mengungkap pelaku lain yang lebih besar, serta memberikan kesaksian secara benar kepada penyidik lembaga antirasuah.
(djm)