Jakarta, CNN Indonesia -- Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah tak mempersoalkan pasal penghinaan parlemen dalam Undang-undang tentang MPR, DPR, DPD, DPRD (UU MD3), meski selama ini dirinya dikenal kritis terhadap pasal penghinaan presiden dalam draf Revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP).
Menurut Fahri, pasal penghinaan parlemen atau
contempt of parliament lebih menekankan aspek DPR sebagai lembaga. Hal itu disebutnya berbeda dengan pasal penghinaan presiden yang menurutnya lebih menekankan pada sosok presiden atau individu.
"Kalau KUHP itu yang mau disakralkan manusia bernama Presiden. Kalau lembaga DPR sebagai pengawas, bukan manusia-manusianya," kata Fahri di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (13/2).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Penghinaan parlemen diatur dalam Pasal 122 poin k Undang-undang MD3. Beleid pasal itu menyebut Mahkamah Kehormatan Dewan dapat mengambil langkah hukum terhadap perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR.
Fahri tak memungkiri ada penekanan pada aspek individu dalam pasal penghinaan parlemen. Namun, menurut dia, hal itu tetap berbeda dengan penekanan individu (presiden) dalam pasal penghinaan presiden.
Salah satu perbedaan terkait mekanisme pengusutan terhadap pendapat yang dianggap menghina.
Dalam pasal penghinaan parlemen, kata Fahri, seorang anggota DPR yang merasa dihina harus terlebih dulu mengadu atau melaporkan ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).
"Anggota maksudnya begini, MKD sebagai hukum acara. Misalnya, anda memfitnah saya dan menurut saya anda sudah keterlaluan. Saya lapor Anda ke MKD, bukan anda yang memfitnah tapi anda melaporkan saya ke MKD," kata Fahri.
"Lalu kita dipanggil MKD dan saya melakukan klarifikasi, di situ anda ketemu. Anda ternyata memfitnah, saya boleh memproses Anda," imbuhnya.
Fahri menyebut mekanisme itu sebagai delik aduan yang tidak ada dalam pasal penghinaan presiden.
"Misal saya menulis di Twitter langsung saya ditangkap, atau menulis tentang presiden, langsung Anda ditangkap karena menghina presiden," ujar Fahri.
Penghinaan presiden dalam draf RKUHP diatur dalam Pasal 239 ayat (1).
Disebutkan dalam pasal itu bahwa setiap orang di muka umum menghina presiden dan wapres, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV (Rp500 juta).
Pasal 239 Ayat (2) menyebutkan, tidak merupakan penghinaan jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jelas dilakukan untuk kepentingan umum, demi kebenaran, atau pembelaan diri.
Pada Senin (5/1), DPR dan Pemerintah menyepakati pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden bersifat delik umum. Artinya, proses hukum dilakukan tanpa perlu ada pengaduan dari korban. Lama hukuman pun bisa dikurangi.
Pimpinan sidang sekaligus Ketua Panitia Kerja RKUHP di DPR, Benny K. Harman, sepakat untuk mengikuti usulan Pemerintah yang ingin menjadikan pasal itu sebagai delik umum.
"OK, kalau gitu ini tetap menjadi delik umum ya," ujar Benny di Gedung DPR, Jakarta, Senin (5/2). Ia memberi catatan bahwa pasal itu akan dibahas kembali di tingkat Panja RKUHP.
Dengan ditetapkan sebagai delik umum, konsekuensinya aparat akan memproses kasus tersebut dengan atau tanpa pengaduan dari korban.
Harkristuti Harkrisnowo, perwakilan ahli tim Pemerintah menyatakan delik umum harus diterapkan dalam pasal tersebut karena pasal tentang penghinaan terhadap kepala atau wakil kepala negara sahabat bersifat delik umum.
Ia khawatir akan timbul diskriminasi terhadap kepala negara Indonesia jika tidak setara dengan pasal penghinaan terhadap kepala negara asing.
"Saya merasa kita kok agak diskriminatif, ya. Presiden sendiri tidak dihormati, tapi Presiden asing kita sembah-sembah," ujar Harkristuti.
(wis/sur)