Komnas HAM: Intoleransi Mulai Mengakar ke Anak-anak

DHF | CNN Indonesia
Kamis, 22 Feb 2018 17:34 WIB
Komisioner Komnas HAM Sandra Moniaga menyatakan, saat banyak anak-anak yang enggan main dengan teman yang berbeda agama. Ini menurutnya ancaman serius.
Komnas HAM menyebut intoleransi mulai mengakar ke generasi muda. Hal ini jadi peringatan serius. (CNNIndonesia/Priska Sari Pratiwi)
Jakarta, CNN Indonesia -- Komisioner Komisi Hak Asasi Manusia Sandra Moniaga menyatakan intoleransi bahkan ekstremisme sudah mengakar di generasi muda Indonesia.

Menurutnya hal ini tak terlepas dari praktik politik kebencian yang terjadi sepanjang 2017. Kini banyak anak-anak yang membeda-bedakan pertemanan dari latar belakang agama, suku, ras, dan antargolongan.

"Ekstremisme sudah berakar di sebagian generasi muda. Banyak anak yang tidak mau main dengan teman yang tidak seagama," kata Sandra di Kantor Amnesty International, Jakarta, Kamis (22/2).

Menurutnya hal ini sangat serius dan berbahaya bagi Indonesia ke depan. Intoleransi atau ekstremisme, ujar Sandra, bagai api dalam sekam.

"Dalam jangka panjang bangsa kita hadapi sesuatu yang serius. Ada pandangan ekstremisme yang dibangun sistematis dan berpotensi dipakai kepentingan macam-macam, bukan hanya politik," ujarnya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Di kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif Amnesty International Usman Hamid menyebut maraknya intoleransi adalah buah dari politik kebencian.

Menurutnya, politik kebencian memiliki dampak serius di masyarakat luas dan sebagai kemunduran penegakkan HAM.

"Misalnya ada pawai demonstrasi waktu itu, anak-anak meneriakkan 'bunuh Ahok'. Itu memperlihatakan kemunduran serius dalam HAM," kata Usman.

Berdasarkan laporan Amnesty International berjudul The State of The World's Human Rights, politik kebencian menjadi tren yang terjadi di seluruh negara sepanjang 2017.

Dalam laporan yang menganalisis situasi HAM di 159 negara itu, politik kebencian dinilai melahirkan pelanggaran-pelanggaran HAM yang disponsori oleh aktor negara dan non-negara.

Tren ini, lanjutnya, muncul seiring terpilihnya pemimpin-pemimpin populis kanan, seperti Donald Trump, Rodrigo Duterte, Narendra Modi, Recep Tayyip Erdogan, dan Vladimir Putin.

"Konsekuensi retorika kebencian yang disampaikan aktor negara dan non-negara jadi nyata, dalam arti timbul efek luar biasa," ucap Usman.

Sandra menyarankan kepada Pemerintah untuk turun langsung menyelamatkan generasi muda dari intoleransi. Hal ini, menurutnya, bisa dilakukan dengan membenahi sistem pendidikan ramah HAM. (sur)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER