Jakarta, CNN Indonesia --
Pengurus Pusat Muhammadiyah mengeluhkan suara sumbang mengenai kajian terhadap Revisi UU Terorisme. Ketua PP Muhammadiyah Bahtiar Effendy mengatakan beberapa pendapat sudah mengarah pada tuduhan serius.
"Bahkan ada juga yang bergurau dengan mengatakan memperlambat RUU Terorisme adalah pendukung teroris," ujar Bahtiar di Menteng, Rabu (23/5).
Bahtiar menilai pembahasan revisi UU Terorisme sebagai hal krusial. Beberapa catatan menjadi sorotan Muhammadiyah agar hasil revisi tersebut tidak menjadi blunder di masa depan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saya sendiri di sini tidak ingin terlibat dalam wacana apakah ini terlambat atau tidak. Tapi bagi Muhammadiyah ingin ini segera selesai dengan catatan persoalan yang masih mengganjal di UU Terorisme diselesaikan dengan baik," ujar Bahtiar.
Ada sejumlah poin dalam revisi UU Terorisme yang disoroti Muhammadiyah. Mulai dari pelibatan TNI dan intelijen, masa penahanan, penyadapan, hingga transparansi penanganan kasus.
Muhammadiyah juga telah menyerahkan rekomendasi terkait pembahasan revisi UU Terorisme ke DPR RI yang sampai saat ini masih dibahas.
Ketua DPR RI Bambang Soesatyo mengatakan pihaknya menargetkan revisi UU Terorisme sudah bisa disahkan pada Jumat (25/5).
"Tinggal sedikit lagi bisa kita tuntaskan sehingga hari Jumat bisa kita ketok palu UU Antiterorisme," kata Bambang di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (22/5).
Revisi ini sendiri sudah berada di meja pembahasan selama dua tahun. Perbaikan UU tersebut dianggap mendesak setelah rentetan kasus terorisme terjadi beberapa waktu terakhir di berbagai tempat.
Di tempat yang sama, Komisioner Komnas HAM 2012 - 2017 Maneger Nasution mengatakan kasus terorisme tidak bisa dipukul rata dari faktor ideologi radikal.
Berdasarkan kajian yang pernah ia lakukan, setidaknya ada enam faktor berbeda yang dapat menyebabkan seseorang menjurus pada aksi terorisme.
Maneger menyebut ada faktor kemiskinan dan faktor pemimpin, faktor pemimpin lokal yang tidak demokratis, hingga faktor sindrom mayoritas dan tirani minoritas.
"Pada faktor terakhir itu ada mayoritas yang tidak mampu melindungi kaum minoritas seperti yang terjadi pada umat non-muslim yang sulit beribadah di wilayah Jawa Barat, atau umat non-Hindu yang sulit beribadah di Bali," katanya.
Kajian Maneger juga pernah menemukan seorang terduga teroris mengaku aksinya dipicu oleh kasus penguasaan tanah hingga 5 juta hektar lebih.
(pmg)