Kasus BLBI, Jaksa Minta Hakim Tolak Eksepsi Syafruddin

FHR | CNN Indonesia
Senin, 28 Mei 2018 15:47 WIB
Jaksa meminta hakim menolak eksepsi terdakwa korupsi BLBI, Syafruddin Arsyad Temenggung karena sama dengan permohonan praperadilan yang sudah ditolak PN Jaksel.
Jaksa meminta hakim menolak eksepsi terdakwa korupsi BLBI, Syafruddin Arsyad Temenggung karena sama dengan permohonan praperadilan yang sudah ditolak PN Jaksel. (CNN Indonesia/Safir Makki).
Jakarta, CNN Indonesia -- Jaksa Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meminta majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta menolak alasan keberatan atau eksepsi yang diajukan terdakwa kasus korupsi BLBI sekaligus mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung.

Jaksa menilai, sebagian besar materi eksepsi hanya pengulangan atau hampir sama dengan permohonan praperadilan yang diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan beberapa waktu lalu.

Dalam sidang putusan yang digelar Rabu, 2 Agustus 2017, majelis hakim praperadilan saat itu menolak permohonan Syafruddin dengan pertimbangan bahwa prosedur penetapan tersangka yang dilakukan oleh KPK sudah memenuhi bukti permulaan cukup, yaitu sekurangnya-kurangnya dua alat bukti.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Melihat dan mencermati materi eksespsi atau keberatan tim penasihat hukum terdakwa sebagian besar materinya telah memasuki pokok perkara dan hanya pengulangan atau hampir sama dengan permohonan pra peradilan yang telah diajukan," kata Jaksa Haerudin dalam sidang yang digelar di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (28/5).

Selain menganggap materi eksespsi serupa dengan yang disampaikan ketika mengajukan praperadilan, Jaksa juga menyoroti alasan eksepsi lainnya yang disampaikan pihak Syafruddin. Salah satunya terkait dakwaan jaksa yang dianggap error in persona atau 'salah alamat'.


Jaksa menjelaskan di dalam eksespsinya, Syafruddin berdalih bahwa kerugian negara terjadi pada saat dijualnya piutang petani tambak Rp4,8 triliun dengan harga Rp220 juta oleh Menteri Keuangan bersama PT Perusahaan Pengelola Aset Persero (PPA) pada 2007. Karena itu, Syafruddin menganggap jaksa salah mengalamatkan dakwaan.

Namun menurut Jaksa, majelis hakim telah melakukan pemeriksaan kepada Syafruddin, termasuk identitas yang dibenarkan oleh Syafruddin. Karena itu, Jaksa berpendapat bahwa eksepsi Syafruddin mengenai error in persona harus dikesampingkan.

Perihal siapa yang menyebabkan terhapusnya hak tagih pemerintah kepada petambak sehingga menimbulkan kerugian negara adalah merupakan materi pokok perkara. Karena itu tidak masuk dalam ruang lingkup eksepsi sebagaimana ketentuan pasal 156 ayat 1 KUHAP.

"Berdasarkan uraian alasan tersebut di atas maka jaksa berpendapat eksespsi terhadap penasihat hukum terdakwa haruslah ditolak atau setidaknya dinyatakan tidak dapat diterima," kata Haerudin.

Sementara usai persidangan, Ahmad Yani selaku kuasa hukum Syafruddin menilai alasan penolakan jaksa terhadap eksepsi yang diajukan tidak menyentuh substansi persoalan.

"Kalau kami lihat dari tanggapan Jaksa, secara substansial Jaksa itu tidak membantah apa-apa yang kami ajukan pada waktu eksepsi. Artinya secara diam-diam jaksa penuntut umum itu mengakui apa yang kami buat dalam eksepsi," kata Yani.

"Secara substansial enggak ada bantahan secara mutlak yang dilakukan (jaksa). Hanya berkisar seolah ini masuk pokok perkara. Padahal apa yg paling kuat dalam eksepsi di luar pokok perkara," tambah dia.


Namun demikian, Yani menyerahkan keputusan terhadap kliennya kepada majelis hakim.

Sebelumnya, Jaksa mendakwa Syafruddin telah merugikan negara sebesar Rp4,5 triliun. Syafruddin didakwa telah melanggar Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Namun, dalam sidang pembacaan dakwaan, Syafruddin malah menggugat Menteri Keuangan dan PT Perusahaan Pengelola Aset Persero (PPA). Gugatan dilayangkan Syafruddin dikarenakan kedua pihak tersebut tidak memberikan kepastian hukum sehingga dia ditetapkan menjadi tersangka oleh KPK.

Syafruddin mengatakan kebijakannya menerbitkan Surat Keterangan Lunas (SKL) saat menjabat Kepala BPPN kepada obligor pengendali saham BDNI pada tahun 1999 hanya sebatas menjalankan keputusan Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK). (osc/gil)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER