Jakarta, CNN Indonesia -- Partai-partai oposisi sampai saat ini masih belum mendeklarasikan kesepakatan koalisi dan mendukung Ketua Umum Partai Gerindra
Prabowo Subianto dalam Pilpres 2019. Hanya Gerindra yang sudah menyatakan mengusung Prabowo sebagai calon presiden untuk melawan petahana Joko Widodo.
PKS, PAN, Partai Berkarya, hingga Partai Demokrat sampai kini belum menentukan sikap tegas mendukung Prabowo. Para petinggi partai itu baru sebatas mengeluarkan sinyal bakal berkoalisi melawan
Jokowi.
Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera menyatakan partainya baru akan duduk bersama dengan Gerindra untuk membahas kepastian koalisi. Ia mengamini koalisi oposisi belum sepenuhnya terbangun.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Doakan pekan depan bisa duduk bareng (dengan Gerindra)," ujar Mardani kepada
CNNIndonesia.com melalu pesan singkat, Kamis (26/7).
Sementara Demokrat yang baru-baru ini mengadakan pertemuan dengan Gerindra pun belum secara lugas menyatakan bakal berkoalisi dengan mendukung Prabowo.
Namun, Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan partainya membuka lebar peluang koalisi dengan Gerindra.
"Saya harus mengatakan jalan membangun koalisi terbuka lebar apalagi setelah kami berdua sepakat atas apa yang menjadi persoalan bangsa lima tahun ke depan," kata SBY usai bertemu Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto di kediaman SBY di Kawasan Mega Kuningan Jakarta Selatan, Selasa (24/7).
Sama halnya dengan PAN. Partai berlambang matahari putih ini juga masih belum menentukan arah koalisi. Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan menyatakan pintu koalisi partainya masih terbuka untuk siapa pun.
"Semuanya lagi proses. Saya kira hari-hari ini lagi intens. Pak Prabowo ketemu ini-itu, saya ketemu Pak Presiden, mungkin nanti malam ada pertemuan. Itu dalam proses," kata Zulhas di Gedung DPR RI, Rabu (25/7).
Rebutan Posisi CawapresPengamat politik Universitas Islam Negeri Jakarta Syarif Hidayatullah Adi Prayitno mengatakan sikap elite parpol oposisi tersebut menunjukan kegamangan dalam menentukan arah.
Kegamangan di kubu oposisi justru berbanding terbalik dengan yang terjadi di kubu petahana. PDIP, PPP, PKB, Golkar, Hanura, dan NasDem justru sudah cukup yakin dengan bangunan koalisi keenam partai tersebut.
Kegamangan tersebut tak lain karena belum sepakatnya parpol oposisi terkait calon wakil presiden yang akan mendampingi Prabowo.
"Partai-partai di luar pemerintah sangat rumit untuk merumuskan koalisi karena masing-masing partai ngotot ingin memajukan capres atau cawapres sendiri," terang Adi saat dihubungi
CNNIndonesia.com, Rabu (25/7).
 AHY disebut-sebut ditawarkan ke Prabowo sebagai cawapres oleh Demokrat. (CNN Indonesia/Mesha Mediani). |
Menurut dia partai-partai oposisi masih berkutat untuk mengusung kadernya agar bisa menempati posisi strategis yang tak lain adalah kursi RI-2. Hal ini karena ego masing-masing parpol masih cukup dominan.
"Ini malah sebaliknya saling berebut ingin maju. Ego politik masing-masing partai cukup dominan," terang Adi.
Seperti diketahui masing-masing parpol oposisi menyodorkan nama cawapres pendamping untuk Prabowo. Dari PKS misalnya ada nama mantan Gubernur Jawa Barat Ahmad Heriyawan alias Aher.
Lalu Partai Demokrat disebut-sebut menawarkan Ketua Kogasma Agus Harimurti Yudhoyono untuk dipasangkan dengan Prabowo. Lalu ada nama Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan yang disebut beberapa parpol cocok menemani Prabowo.
Mengenai ini, Mardani membantah PKS belum mendeklarasikan diri berkoalisi dengan Gerindra dan mendukung Prabowo karena belum sepakat mengenai cawapres.
"Memang masih menunggu koalisi terbangun. Sebentar lagi selesai bangunan koalisi baru bahas nama," ujar Mardani.
Siapa yang Cocok?Prabowo sebagai capres tentu punya banyak indikator dan faktor siapa yang layak menjadi cawapresnya. Namun masalahnya tak semua partai yang berada di oposisi ini akan menerima jika Prabowo memilih salah satu dari beberapa nama.
Terdapat beberapa kemungkinan yang terjadi apabila Prabowo memilih salah satu dari nama-nama yang disodorkan oleh partai-partai oposisi tersebut.
Pertama AHY. Menurut Adi, apabila Prabowo memilih AHY sebagai cawapresnya, maka koalisi oposisi cenderung bakal lebih menerima. PKS dan PAN bakal legowo.
Hal itu karena AHY memiliki banyak keunggulan. Mulai dari sokongan yang kuat secara logistik dan pengaruh dari Demokrat, hingga sosoknya yang bisa diterima kalangan muda dan elektabilitas yang terbilang tinggi sebagai cawapres.
"AHY unggul segalanya dari calon-calon yang diusung partai lain. AHY disokong Demokrat, elektabilitasnya tinggi sebagai cawapres, plus kekuatan logistik yang memadai," terangnya.
 Nama Gubernur DKI Anies Baswedan juga dikabarkan cocok untuk mendampingi Prabowo sebagai cawapres. (CNNIndonesia/Hesti Rika Pratiwi). |
Berseberangan, Pengamat Politik Universitas Negeri Jakarta Ubedilah Badrun menilai koalisi oposisi berpotensi bergejolak apabila AHY dipilih Prabowo.
Pasalnya, kata Ubed, PKS bakal sakit hati karena partai berlambang bulan sabit itulah yang setia mendukung Gerindra sejak lama.
"Itu menyakitkan untuk partai yang konsisten di oposisi, mungkin PKS akan mengalah atau mungkin akan sendirian tapi itu berisiko untuk PKS," ujar Ubed.
Menurut dia bakal terjadi negosiasi kekuasaan antara PKS, Gerindra, dan partai oposisi lain apabila AHY diusung menjadi cawapres Prabowo. Bukan tidak mungkin jatah menteri yang diminta oleh PKS bakal membengkak.
Kedua, apabila Prabowo memilih Anies sebagai cawapres, kata Ubed, PKS dan partai oposisi lainnya justru bakal melunak. Namun, tidak dengan Demokrat. Partai berlambang bintang mercy itu kemungkinan bakal kembali netral seperti halnya di Pilpres 2014.
"Jadi sudahlah apabila Prabowo-Anies, Demokrat mengalah saja, jadi Demokrat harus belajar dari pengalaman kemarin akibatnya tidak mendapat apa-apa, mungkin AHY nanti dijadikan Menko Polhukam, jika mengalah dan menyerahkan posisi cawapres kepada Anies," terang Ubed.
Demokrat, kata dia juga akan kesulitan sendiri apabila memutuskan keluar dari koalisi dan membentuk poros ketiga. Pasalnya untuk memenuhi ambang batas pencapresan sebesar 20 persen, Demokrat perlu mengajak paling tidak dua partai.
Poros ketiga, kata Ubed hanya mungkin dibentuk oleh Demokrat apabila salah satu partai koalisi Jokowi membelot dan keluar dari koalisi.
"Kalau PKB keluar mungkin saja bentuk poros ketiga tapi itu akan sulit kalau komposisinya Demokrat, PKB, dan PAN," terang dia.
Ketiga, apabila cawapres Prabowo berasal dari salah satu kader PKS misalnya Aher atau Salim Segaf Al Jufri, koalisi oposisi bakal tidak terlalu bergejolak. Pasalnya PKS sudah dianggap lama bersama dengan Gerindra sebagai pihak oposisi.
"Kalau etika politiknya untuk membangun koalisi itu butuh
trust dan dibangun dengan konsistensi, kalau memilih konsistensi Prabowo logisnya memilih wapres dari PKS, secara moral politik ya memilih dari PKS," terang dia.
(osc/gil)