Jakarta, CNN Indonesia -- Wakil Ketua DPR Fadli Zon menyatakan uji materi syarat calon wakil presiden dalam Undang Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dapat merusak konstitusi dan konvensi ketatanegaraan Indonesia hasil reformasi.
Perindo adalah pihak yang mengajukan gugatan itu ke Mahkamah Konstitusi. Jusuf Kalla melalui kuasa hukumnya Irman Putrasidin mengajukan diri sebagai pihak terkait dalam gugatan tersebut.
Menurut Fadli perubahan syarat tersebut tidak boleh dilakukan jika bertujuan untuk kepentingan kekuasaan dan mempertahankan status quo.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jangan karena ambisi kekuasaan dan mempertahankan status quo, kita merusak kembali konstitusi dan konvensi ketatanegaraan hasil Reformasi," ujar Fadli dalam keterangan tertulis, Kamis (26/7).
Fadli tidak mengelak masa jabatan wapres dapat diubah. Namun menurut dia hal itu dilakukan lewat amandemen UUD 1945.
Pasal 7 UUD 1945 mengatur bahwa Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.
Pasal itulah yang menurut Fadli dapat diamendemen. Akan tetapi, dia khawatir amendemen pasal tersebut untuk mengakomodir pencalonan cawapres justru dapat menarik mundur semangat reformasi.
"Jadi, menurut saya perdebatan mengenai periode jabatan Pak Jusuf Kalla itu seharusnya tidak perlu ada. Gugatan uji materi ke MK terkait soal itu sangat tidak elok dilakukan," ujarnya.
Fadli mengklaim pembatasan periode jabatan wakil presiden sudah dibuat tegas dalam rumusan konstitusi, UU Pemilu, hingga yurisprudensi putusan MK.
Ketiga hal itu menurut Fadli berlaku bukan hanya untuk wapres, melainkan juga untuk jabatan presiden hingga kepala daerah.
Dia pun menyebut kontrol masa jabatan sebagai salah satu esensi demokrasi untuk membatasi dan mengontrol kekuasaan.
"Sehingga, perdebatan soal apakah jabatan itu dijabat dua kali berturut-turut atau dengan jeda jadi tak lagi relevan. Karena hukum tidak memperkenankan pejabat yang sudah dua kali memegang jabatan untuk menjabat kembali yang ketiga kalinya. Itu prinsipnya," ujar Fadli.
Tafsir Teoritis Jabatan WapresMenurut Fadli ada dua cara untuk menafsirkan hukum soal periode jabatan wapres, yakni tafsir gramatikal dan tafsir historis.
Ia menjelaskan tafsir gramatikal merupakan cara menafsirkan seturut kata dan kalimat. Sementara, tafsir hitoris dilakukan dengan cara melihat bagaimana jalannya perdebatan saat lahirnya norma tersebut.
Dari sisi gramatikal, Fadli menyebut MK sudah membuat putusan terkait periode jabatan yang berlaku untuk kepala daerah maupun presiden dan wapres. Putusan MK, kata Waketum Gerindra ini, membuat pembatasan masa jabatan wapres sudah memiliki yurisprudensi.
Bahkan, ia berkata periode masa jabatan yang tidak dijalani penuh sekalipun tetap dihitung sebagai satu kali masa jabatan. Ini merujuk pada putusan MK Nomor 22/PUU-VII/2009 dalam perkara permohonan pengujian Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
"Artinya, jika seseorang menjabat kepala daerah, presiden, atau wakil presiden tidak penuh selama lima tahun, baik yang bersangkutan naik di tengah jalan maupun berhenti sebelum masa jabatannya habis, periode jabatan yang tak tidak penuh itupun tetap dihitung sebagai satu kali masa jabatan. Normanya tegas dan ketat," ujarnya.
Dari sisi historis, Fadli mengatakan MPR sudah berdebat tentang periode jabatan selama proses amandemen UUD 1945. Fadli mengklaim bahwa MPR sudah menegaskan wapres tidak boleh menjabat dua periode, baik berturut-turut maupun tidak.
"Artinya, presiden dan wapres hanya dapat dipilih kembali untuk jabatan yang sama untuk satu kali masa jabatan, alias maksimal dua periode jabatan. Tidak ada tafsir lain," ujar Fadli.
Atas penjelasan itu, ia berharap tidak ada lagi intepretasi atas periode jabatan wapres.
(wis)