Jakarta, CNN Indonesia -- Sejumlah aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) yang tergabung dalam beberapa kelompok mempertanyakan masa hukuman yang dijalani terpidana pembunuhan
Munir Said Thalib,
Pollycarpus Budihari Prijanto yang dinilai singkat. Mereka mencermati masa hukuman yang dijalani Pollycarpus hampir tak ada setengah dari vonis hakim.
Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur menghitung bahwa Pollycarpus secara efektif hanya 6 tahun mendekam di balik jeruji.
"Dari 14 tahun, tidak setengahnya dia jalani, jadi hanya 6 tahun paling lama," kata Isnur yang ditemui dalam konferensi pers di kantor KontraS, Jakarta Pusat, Rabu (29/8).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bagi Isnur, fakta tersebut menjadi pukulan yang menyakitkan bagi pejuang HAM dan keluarga korban. Menurutnya sikap negara dalam kasus Munir tak hanya gagal menyentuh dalang pembunuhan, tapi juga 'lembek' terhadap pelaku yang sudah divonis bersalah.
"Ini artinya pemerintahan Joko Widodo ikut melanggengkan impunitas pelaku kasus Munir," imbuh Isnur.
Kepala Bidang Advokasi LBH Jakarta Yunita menilai bebasnya Pollycarpus dengan tempo waktu relatif singkat menjelaskan posisi negara yang seakan tak berniat menyelesaikan kasus yang kini sudah berusia 14 tahun tersebut.
"Dalam kasus Munir menunjukkan wibawa negara sangat lemah, mulai dari pelaku yang banyak mendapat remisi hingga juga pengungkapan kasus yang dokumennya saja tidak dimiliki oleh negara," tukas Yunita.
Status hukum Pollycarpus berubah dari bebas bersyarat menjadi bebas murni dari Lembaga Permasyarakatan Sukamiskin pada Rabu (29/8). Pembunuh Munir ini sebelumnya sudah mendapat status bebas bersyarat sejak 28 November 2014 berdasarkan Surat Keputusan Pembebasan Bersyarat (SKPB) dari Kemenkumham.
Pollycarpus awalnya mendekam di Lapas Cipinang selama dua tahun sejak 2006. Selanjutnya ia dipindahkan ke Sukamiskin pada Juni 2008.
Semenjak itu Pollycarpus rutin mendapat remisi yang membuat masa hukumannya di 'hotel prodeo' kian singkat seiring waktu berjalan.
Anggota Komisi III Akan Tanyai Kapolri
Sementara itu, di tempat terpisah, anggota Komisi III DPR dari Fraksi PPP Arsul Sani berencana bertanya kepada Kepala Polri Jenderal Tito Karnavian perihal status penanganan kasus pembunuhan Munir. Menurutnya, pertanyaan itu bakal diajukan untuk mengetahui perkembangan penyelidikan Polri atas aktor intelektual di balik pembunuhan Munir, setelah terpidananya yakni Pollycarpus telah bebas murni.
"Saya akan tanyakan nanti di Raker Komisi III dengan Kapolri soal itu. Apakah memang penyidikannya sudah ditutup, dihentikan atau sebetulnya masih terbuka hanya belum ada kemajuan," ujar Arsul di Jakarta, Rabu (29/8).
Arsul mengatakan kasus Munir bukan salah satu kasus yang ditangani Polri. Ia menyebut Polri memiliki banyak kasus besar yang saat ini masih berjalan, salah satunya kasus penyiraman air keras ke wajah penyidik KPK, yakni Novel Baswedan.
Meski demikian, ia berharap ada penjelasan yang disampaikan Tito terkait dengan masalah tersebut.
Lebih lanjut, Arsul menegasakan kasus pembunuhan Munir yang belum tuntas tidak akan menggangu elektabilitas capres Joko Widodo di Pilpres 2019. Sebab, ia menyatakan kasus tersebut merupakan ranah hukum yang tidak bisa diintervensi oleh presiden.
"Kalau proses penegakan hukum, penegak hukum siapapun KPK, Kejaksaan, Polisi itu punya independensinya. Jangan kalau sebuah proses penegakan hukum, kecuali bisa dibuktikan ada intervensi langsung dari presiden. Maka kalau lamban dan sebagainya tidak bisa disalahkan presidennya," ujarnya.
(osc)