Pengamat Hukum Pidana dari Universitas Indonesia Eva Achjani Zulfa mengatakan PK tetap bisa berjalan dengan atau tanpa bukti baru (
novum). Putusan hakim pun, sambungnya, tetap bisa ditinjau kembali dengan menguji pasal-pasal yang dikenakan kepada Baiq.
"Saya pikir PK tetap bisa dilaksanakan dan harus ada pembuktian, jika tidak maka Baiq harusnya bisa bebas dari jeratan hukum," tutur dia.
Baiq sendiri, baik melalui kuasa hukumnya maupun dirinya pribadi, menyatakan akan tetap berjuang bebas melalui PK.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tidak (campur tangan presiden lewat amnesti),"kataBaiq di Gedung DPR,Jakarta, Rabu (21/11).
Salah satu anggota kuasa hukum Baiq Nuril, Joko Jumadi, mengatakan PK yang pihaknya pilih untuk ditempuh itu untuk membuktikan bahwa kliennya tidak bersalah.
"Kami
concern kepada perlawanan hukum dalam bentuk PK," ujar Joko, Senin (19/11), "Sedangkan upaya yang kita lakukan supaya menghindari Bu Nuril tidak masuk penjara adalah penundaan eksekusi (oleh kejaksaan agung). Itu yang kami lakukan."
Joko mengatakan pihaknya tidak ikut campur terkait dengan desakan penggunaan hak amnesti presiden untuk Baiq. Karena pihaknya masih merasa terganjal dengan definisi amnesti.
Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1954 Pasal 1 disebutkan bahwa presiden, atas kepentingan negara, dapat memberi amnesti dan abolisi kepada orang-orang yang telah melakukan sesuatu tindakan pidana. Presiden memberi amnesti dan abolisi ini setelah mendapat nasihat tertulis dari Mahkamah Agung yang menyampaikan nasihat itu atas permintaan Menteri Kehakiman.
Joko mengatakan frasa "kepada orang-orang yang telah melakukan sesuatu tindakan pidana" itulah yang membuat pihaknya tidak ikut campur. Karena bisa dimaknai bahwa Baiq Nuril membenarkan telah melakukan tindak pidana sebagaimana dilaporkan Muslim.
"Tim hukum tetap pada pendirian bahwaBuNuril tidak bersalah. Langkah yang dilakukan adalah PK,"kataJoko.
Sementara itu, MA menyatakan putusan PN Mataram yang membebaskan Baiq Nuril dalam kasus pelanggaran UU ITE keliru. "Menurut putusan MA, bahwa putusan Pengadilan Negeri Mataram keliru membebaskan (Nuril). Kemudian, diluruskan MA dengan putusan MA," kata Juru Bicara MA, Suhadi saat dihubungi, Rabu.
Di tingkat kasasi, MA memutuskan Baiq melanggar pasal 27 ayat 1 UU ITE. Pasal tersebut menyatakan, 'Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan'.
Suhadi menerangkan majelis sidang kasasi menilai Nuril terbukti mentransmisikan rekaman pembicaraan dengan mantan kepala SMAN 7 Mataram, Muslim. Secara umum, kata Suhadi, mentransmisi berarti memindahkan.
Dalam konteks kasus Nuril, rekaman yang sebelumnya disimpan sendiri kemudian berpindah tangan ke orang lain. Selanjutnya, rekaman tersebut tersebar luas. "Memberikan
handphone kepada itu (ImamMudawin) dan waktu itu faktanya dia (Nuril) berada di situ. Jadi bisa dipastikan bahwa itu akan berpindah kepada orang lain. (Pemindahan) kan bisa oleh dia sendiri, bisa juga dikuasakan oleh dia atau bisa melalui agen IT (teknologi informasi) sendiri,"kataSuhadi soal kasus yangmenjeratBaiqNuril.
(ctr/kid)