, termasuk Indonesia. Sejak merdeka pada 1945, para pendiri bangsa langsung memutuskan bahwa demokrasi sebagai sistem negara.
menyebut kemunculan organisasi modern dan partai politik di masa silam merupakan sikap dari ketidaksukaan terhadap pemerintah kolonial. Ditambah, masyarakat Indonesia sudah semakin terpelajar.
Menurut dia, tekanan atau represi dari pemerintah kolonial membuat masyarakat pribumi gusar. Namun, tidak serta merta langsung melawan tanpa perencanaan. Nasionalisme menjadi kata kunci.
"Nasionalisme merupakan suatu jawaban terhadap kondisi ekonomi, sosial, yang khusus serta politik yang ditimbulkan oleh situasi kolonial," kata Rusli.
Nasionalisme yang sudah tumbuh dalam benak dimanifestasikan secara konkret dengan membentuk suatu organisasi, termasuk partai politik. Tentu dengan dilandasi untuk mengubah keadaan menjadi lebih baik.
"Dalam rangka membentuk wadah perjuangan yang lebih terencana, sehingga upaya mencapai tujuan bersama dapat berjalan efektif," tutur Rusli.
Semua berawal dari Budi Utomo, organisasi yang didirikan oleh Soetomo dan kawan-kawan terpelajar lainnya di Jakarta pada 20 Mei 1908 silam. Budi Utomo memang bukan partai atau organisasi yang berorientasi politik. Baru sampai pada taraf bertekad memajukan masyarakat dalam bidang pendidikan, kebudayaan, dan ekonomi.
Meski demikian, Budi Utomo memiliki pengaruh besar. Setelah kemunculannya, berturut-turut berdiri organisasi modern dan partai politik. Budi Utomo menggugah kaum terpelajar, yang selama ini diam, untuk lebih berani bersikap.
Bermacam-macam organisasi dan partai politik bermunculan sejak itu. Sebut saja, Sarekat Islam, Muhammadiyah, Indische Partij, Partai Komunis Indonesia (PKI), dan Partai Nasional Indonesia (PNI). Belum lagi Perhimpunan Indonesia yang aktif di negeri Belanda.
Para pemuda semakin banyak yang terlibat dalam diskusi akademik dan politik. Membicarakan kondisi bangsa dan langkah konkret ke depan. Mereka juga terus mengorganisir kekuatan dengan pemahamannya masing-masing.
Meski berbeda, setiap golongan tetap memiliki kesamaan satu sama lain. Rusli Karim menilai karakter partai-partai politik kala itu terbagi menjadi tiga. Mereka umumnya dilandasi oleh agama (Islam dan Nasrani), sosialis (kemudian menjadi komunis), dan nasionalis.
"Yang menjadi benang perekat bagi hampir semua partai di masa lalu itu adalah nasionalisme dan demokrasi," kata Rusli.
Tiga bulan setelah merdeka Wakil Presiden Mohammad Hatta menerbitkan Maklumat Nomor X untuk mendorong terbentuknya partai-partai politik. Partai politik dinilai bisa mendukung perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan dan menyerap aspirasi rakyat.
Pembentukan partai politik ini sebagai persiapan penyelenggaraan pemilu yang akan digelar Januari 1946. Namun pemilu perdana itu batal lantaran situasi keamanan yang tidak kondusif akibat aktivitas militer melawan Inggris dan Belanda.
Maklumat disambut baik oleh publik dengan terbentuknya lebih dari 20 parpol.
Sukarno dan Mohammad Hatta. (AFP PHOTO) |
Partai lawas macam PNI, PKI, PSI, PSII Parkindo, Partai Katolik, kembali muncul dengan susunan pengurus dan arah politik yang berbeda. Meski begitu, mayoritas masih mengandalkan peran aktivis yang telah makan asam garam sejak masa pergerakan.
Buku Kepartaian terbitan Kementerian Penerangan tahun 1951 mengklasifikasikan partai-partai politik yang berdiri pascakemerdekaan menjadi empat. Pertama, partai dengan dasar Ketuhanan. Di dalamnya termasuk partai Islam dan Nasrani. Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) menjadi partai yang terbesar.
Kedua, dasar kebangsaan. Partai aliran beraliran nasionalis dimasukkan dalam kategori ini. Misalnya PNI, Partai Indonesia Raya (Parindra), dan Persatuan Indonesia Rayat (PIR). Ketiga, partai berdasar Marxisme atau beraliran sosialis-komunis. PSI, PKI, Partai Murba, dan Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia (Permai) termasuk di dalamnya. Keempat, partai lain-lain. Di antaranya, Partai Demokrat Tionghoa Indonesia (PDTI) dan Partai Indo Nasional (PIN).
Reputasi partai-partai politik tak lama Indonesia merdeka tidak memberikan situasi nyaman. Masing-masing dari mereka cenderung kerap terlibat friksi bahkan konflik tajam hingga saling menculik pengurus. Sebagian besar dari mereka juga teguh pada prinsipnya tentang bagaimana cara mengelola negara Indonesia dengan cara yang terbaik. Ideologi masing-masing partai sangat mempengaruhi arah politik mereka.
Ada yang ingin kompromi dengan Belanda, yang kala itu masih ingin menguasai Indonesia. Ada juga yang menentang keras dan lebih suka angkat senjata ketimbang diskusi di meja perundingan.
Kabinet begitu cepat berganti. Kala itu, Indonesia menerapkan sistem pemerintahan parlementer. Kepala pemerintahan dijalankan oleh seorang perdana menteri yang sering berganti. Sukarno, selaku presiden, hanya menjalankan tugas sebagai kepala negara.
Belanda dan Inggris juga belum mengakui kemerdekaan, yang artinya Indonesia harus menghadapi serangan militer kedua negara tersebut yang berusaha menguasai kembali. Di sisi lain, situasi politik tanah air juga tidak tenang. Perbedaan pandangan antara partai politik sangat sering terjadi.
Situasi politik pascakemerdekaan makin memanas dengan proklamasi Republik Indonesia Soviet di Madiun, Jawa Timur tahun 1948 oleh PKI. Mereka tidak puas dengan Sukarno dan Hatta. Bagi PKI, Indonesia seharusnya menjadi negara berhaluan komunis. Pemberontakan ini kemudian bisa dipadamkan.
Era Demokrasi Parlementer dan TerpimpinSejak Agustus 1950, Indonesia menggunakan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1945 sebagai dasar negara. UUDS menghendaki Indonesia menerapkan sistem pemerintahan parlementer. Tidak presidensial seperti UUD 1945.
Sukarno menjabat sebagai kepala negara. Didampingi Mohammad Hatta sebagai wakil kepala negara. Jabatan perdana menteri, selaku kepala pemerintahan, berasal dari partai politik.
Pada era ini, partai politik masih sangat kental dengan ideologinya masing-masing. Bukan hanya dilakukan oleh oposisi. Friksi juga kerap terjadi antara partai-partai politik yang tergabung dalam satu kabinet. Walhasil, kabinet sering bergonta-ganti lebih karena guncangan politik dari dalam koalisi sendiri.
Pemilu 1955 dilaksanakan. DPR diisi oleh anggota-anggota hasil pemilu tersebut. Ada empat partai besar dengan perolehan suara terbanyak. Berturut-turut antara lain PNI, Masyumi, Partai NU, dan PKI.
Pemilu 1955 juga memilih anggota Konstituante. Fungsi lembaga tersebut yakni menyiapkan rancangan undang-undang dasar baru pengganti UUDS 1950. Konstituante juga diisi oleh orang-orang partai politik. Imbasnya, kegaduhan juga terjadi di internal Konstituante akibat ideologi partai yang beragam.
Kegaduhan situasi politik Tanah Air tak berhenti meski Pemilu 1955 telah dilaksanakan. Partai-partai seolah sulit untuk berkompromi satu sama lain. Akibatnya, pemerintahan dan pembangunan tak berjalan optimal karena harus tersita dengan permasalahan politik.
Demikian pula dengan Konstituante. Progres perancangan UUD baru berjalan begitu lambat. Masing-masing perwakilan partai politik begitu keras mempertahankan pandangannya masing-masing. Hingga kemudian, Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Melalui dekrit yang tersohor itu, Sukarno membubarkan Konstituante dan menerapkan kembali UUD 1945 sebagai konstitusi.
Sejak itu pula Indonesia memasuki penerapan Demokrasi Terpimpin hingga 1965. Sukarno kembali menjabat sebagai presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan.
Di era tersebut, Sukarno menerapkan konsep Nasionalis, Agamis, Komunis atau yang dikenal dengan Nasakom. Kelompok politik aliran nasionalis yang paling berpengaruh yakni PNI.
"PNI berjuang untuk ikut merealisir kehidupan Demokrasi Terpimpin di Indonesia guna menyelamatkan Indonesia yang terancam oleh praktik demokrasi liberal yang mengarah ke anarki, defaitisme, perpecahan dan kelumpuhan bangsa," tutur pendiri PNI, Sunario melalui buku Banteng Segitiga (1972).
Kekuatan politik berhaluan agamis terbesar yakni Partai NU. Masyumi sudah dibubarkan akibat terlibat pemberontakan PRRI/Permesta beberapa tahun sebelumnya.
Kekuatan politik berhaluan komunis yang paling dominan adalah PKI. Mereka berhasil menggalang kekuatan semakin besar setiap tahunnya meski pada 1948 banyak anggotanya yang hilang.
Tahun 1965 terjadi pergolakan. Gerakan 30 September pecah. PKI dituding jadi dalang di balik gerakan yang dituduh akan melakukan kudeta.
Puncaknya PKI dibubarkan dan dinyatakan sebagai organisasi terlarang oleh Soeharto yang saat ini mengemban Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) dari Sukarno.
Untuk mengikis pengaruh PKI yang begitu besar saat itu, Golongan Karya (Golkar) dibentuk di akhir-akhir masa kepemimpinan Sukarno. Golkar langsung ikut Pemilu tahun 1971 dan menang.
Ia bisa mengungguli partai-partai yang sebelumnya dominan yakni NU, PNI dan Parmusi.
Tahun 1973 atau dua tahun setelah Pemilu 1971, Rezim Orde Baru menggabungkan partai-partai politik yang ada.
Tiga partai politik terbentuk dari hasil penggabungan atau fusi tersebut. Tiga partai itu adalah Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang merupakan gabungan dari NU, Parmusi, PSII, dan PERTI. Lalu ada Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang merupakan gabungan dari PNI, Partai Katolik, Partai Murba, IPKI, dan Parkindo. Sementara Golkar berdiri sendiri.
Dalih rezim Soeharto saat ini adalah untuk menciptakan stabilitas. Saat itu pemerintah berkaca pada rezim orde lama di mana banyak parpol membuat perpecahan di tubuh masyarakat.
Selanjutnya di Pemilu 1977 hingga 1997, Pemilu selalu diikuti oleh tiga parpol ini dan selalu Golkar yang jadi pemenang. Golkar saat itu menjadi kendaraan politik utama Soeharto untuk melanggengkan kekuasaan. Soeharto juga setiap periode selalu ditunjuk oleh MPR menjadi Presiden RI.
Ramai Partai di Era Reformasi
Era Reformasi ditandai dengan mundurnya Soeharto dari presiden setelah berkuasa hampir 32 tahun lamanya. Sejak itu, masyarakat menuntut kepada pemerintah penerus agar ada pembaharuan kehidupan politik yang lebih demokratis dibanding sebelumnya. Salah satunya yakni dengan mengeluarkan undang-undang pemilu yang baru.
Presiden Baharuddin Jusuf Habibie kemudian menerbitkan UU No 2 tahun 1999 tentang Partai Politik. Terbitnya undang-undang tersebut menggugah berdirinya partai-partai politik baru.
"Reformasi membawa beberapa perubahan fundamental," kata Miriam Budiardjo dalam bukunya berjudul Dasar-Dasar Ilmu Politik.
 Reformasi 1998 (REUTERS) |
KPU, kala itu, mencatat ada 141 partai politik yang mendaftarkan diri ke Departemen Kehakiman. Namun hanya 48 di antaranya memenuhi syarat dan boleh mengikuti Pemilu 1999.
Pemilu 1999 untuk pertama kalinya Golkar kalah. Pendatang baru, PDI Perjuangan yang digawangi Megawati Soekarnoputri langsung jadi pemenang.
Di Pemilu selanjutnya di tahun 2004, mulai ada seleksi pada parpol yang akan ikut pemilu dengan Undang-Undang Pemilu yang baru. Partai dengan perolehan kursi 2 persen di DPR atau 3 persen di DPRD yang boleh ikut Pemilu 2004.
Saat itu hanya enam partai yang memenuhi kriteria. Sementara partai-partai lain yang tidak memenuhi kriteria harus bergabung dengan partai lainnya.
Dari 'seleksi' ini, ada 24 parpol yang berhak ikut Pemilu 2004. Pada Pemilu kali ini juga digelar Pemilihan Presiden langsung di mana Susilo Bambang Yudhoyono terpilih.
Pemilu 2009 muncul pemenang baru, yakni Partai Demokrat di mana sosok sentral partai ini, SBY, adalah petahana yang berlaga kembali di pilpres. Jumlah parpol yang ikut Pemilu 2009 berjumlah 38 partai.
Terdiri dari 34 partai politik yang lolos verifikasi faktual Komisi Pemilihan Umum dan empat parpol lama yang berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi partai politik peserta Pemilu 2004 berhak ikut Pemilu 2009.
Selain itu ada enam partai lokal di Aceh yang bertarung untuk ditingkat DPRD selain partai di tingkat nasional yakni Partai Aceh, Partai Aceh Aman Sejahtera, Partai Bersatu Aceh, Partai Daulat Aceh, Partai Rakyat Aceh, dan Partai Suara Independen Rakyat Aceh.
Pemilu 2014 diikuti oleh 15 partai Politik di tingkat nasional dan tiga partai lokal Aceh. PDIP kembali unggul dalam Pemilu ini. Sementara Demokrat melorot di urutan keempat.
Pada Pemilu 2019 tahun ini, ada 20 partai politik yang akan berlaga, terdiri dari 16 parpol tingkat nasional dan empat parpol lokal Aceh.
20 parpol berdasarkan nomor urut adalah:
1. Partai Kebangkitan Bangsa
2. Partai Gerindra
3. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
4. Partai Golkar
5. Partai Nasdem
6. Partai Garuda
7. Partai Berkarya
8. Partai Keadilan Sejahtera
9. Partai Perindo
10. Partai Persatuan Pembangunan
11. Partai Solidaritas Indonesia
12. Partai Amanat Nasional
13. Partai Hanura
14. Partai Demokrat
15. Partai Aceh
16. Partai Sira
17. Partai Daerah Aceh
18. Partai Nangroe Aceh
19. Partai Bulan Bintang
20. Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia.