Tiga bulan setelah merdeka Wakil Presiden Mohammad Hatta menerbitkan Maklumat Nomor X untuk mendorong terbentuknya partai-partai politik. Partai politik dinilai bisa mendukung perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan dan menyerap aspirasi rakyat.
Pembentukan partai politik ini sebagai persiapan penyelenggaraan pemilu yang akan digelar Januari 1946. Namun pemilu perdana itu batal lantaran situasi keamanan yang tidak kondusif akibat aktivitas militer melawan Inggris dan Belanda.
Maklumat disambut baik oleh publik dengan terbentuknya lebih dari 20 parpol.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sukarno dan Mohammad Hatta. (AFP PHOTO) |
Partai lawas macam PNI, PKI, PSI, PSII Parkindo, Partai Katolik, kembali muncul dengan susunan pengurus dan arah politik yang berbeda. Meski begitu, mayoritas masih mengandalkan peran aktivis yang telah makan asam garam sejak masa pergerakan.
Buku Kepartaian terbitan Kementerian Penerangan tahun 1951 mengklasifikasikan partai-partai politik yang berdiri pascakemerdekaan menjadi empat. Pertama, partai dengan dasar Ketuhanan. Di dalamnya termasuk partai Islam dan Nasrani. Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) menjadi partai yang terbesar.
Kedua, dasar kebangsaan. Partai aliran beraliran nasionalis dimasukkan dalam kategori ini. Misalnya PNI, Partai Indonesia Raya (Parindra), dan Persatuan Indonesia Rayat (PIR). Ketiga, partai berdasar Marxisme atau beraliran sosialis-komunis. PSI, PKI, Partai Murba, dan Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia (Permai) termasuk di dalamnya. Keempat, partai lain-lain. Di antaranya, Partai Demokrat Tionghoa Indonesia (PDTI) dan Partai Indo Nasional (PIN).
Reputasi partai-partai politik tak lama Indonesia merdeka tidak memberikan situasi nyaman. Masing-masing dari mereka cenderung kerap terlibat friksi bahkan konflik tajam hingga saling menculik pengurus. Sebagian besar dari mereka juga teguh pada prinsipnya tentang bagaimana cara mengelola negara Indonesia dengan cara yang terbaik. Ideologi masing-masing partai sangat mempengaruhi arah politik mereka.
Ada yang ingin kompromi dengan Belanda, yang kala itu masih ingin menguasai Indonesia. Ada juga yang menentang keras dan lebih suka angkat senjata ketimbang diskusi di meja perundingan.
Kabinet begitu cepat berganti. Kala itu, Indonesia menerapkan sistem pemerintahan parlementer. Kepala pemerintahan dijalankan oleh seorang perdana menteri yang sering berganti. Sukarno, selaku presiden, hanya menjalankan tugas sebagai kepala negara.
Belanda dan Inggris juga belum mengakui kemerdekaan, yang artinya Indonesia harus menghadapi serangan militer kedua negara tersebut yang berusaha menguasai kembali. Di sisi lain, situasi politik tanah air juga tidak tenang. Perbedaan pandangan antara partai politik sangat sering terjadi.
Situasi politik pascakemerdekaan makin memanas dengan proklamasi Republik Indonesia Soviet di Madiun, Jawa Timur tahun 1948 oleh PKI. Mereka tidak puas dengan Sukarno dan Hatta. Bagi PKI, Indonesia seharusnya menjadi negara berhaluan komunis. Pemberontakan ini kemudian bisa dipadamkan.
Era Demokrasi Parlementer dan TerpimpinSejak Agustus 1950, Indonesia menggunakan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1945 sebagai dasar negara. UUDS menghendaki Indonesia menerapkan sistem pemerintahan parlementer. Tidak presidensial seperti UUD 1945.
Sukarno menjabat sebagai kepala negara. Didampingi Mohammad Hatta sebagai wakil kepala negara. Jabatan perdana menteri, selaku kepala pemerintahan, berasal dari partai politik.
Pada era ini, partai politik masih sangat kental dengan ideologinya masing-masing. Bukan hanya dilakukan oleh oposisi. Friksi juga kerap terjadi antara partai-partai politik yang tergabung dalam satu kabinet. Walhasil, kabinet sering bergonta-ganti lebih karena guncangan politik dari dalam koalisi sendiri.
Pemilu 1955 dilaksanakan. DPR diisi oleh anggota-anggota hasil pemilu tersebut. Ada empat partai besar dengan perolehan suara terbanyak. Berturut-turut antara lain PNI, Masyumi, Partai NU, dan PKI.
Pemilu 1955 juga memilih anggota Konstituante. Fungsi lembaga tersebut yakni menyiapkan rancangan undang-undang dasar baru pengganti UUDS 1950. Konstituante juga diisi oleh orang-orang partai politik. Imbasnya, kegaduhan juga terjadi di internal Konstituante akibat ideologi partai yang beragam.
Kegaduhan situasi politik Tanah Air tak berhenti meski Pemilu 1955 telah dilaksanakan. Partai-partai seolah sulit untuk berkompromi satu sama lain. Akibatnya, pemerintahan dan pembangunan tak berjalan optimal karena harus tersita dengan permasalahan politik.
Demikian pula dengan Konstituante. Progres perancangan UUD baru berjalan begitu lambat. Masing-masing perwakilan partai politik begitu keras mempertahankan pandangannya masing-masing. Hingga kemudian, Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Melalui dekrit yang tersohor itu, Sukarno membubarkan Konstituante dan menerapkan kembali UUD 1945 sebagai konstitusi.
Sejak itu pula Indonesia memasuki penerapan Demokrasi Terpimpin hingga 1965. Sukarno kembali menjabat sebagai presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan.
Di era tersebut, Sukarno menerapkan konsep Nasionalis, Agamis, Komunis atau yang dikenal dengan Nasakom. Kelompok politik aliran nasionalis yang paling berpengaruh yakni PNI.
"PNI berjuang untuk ikut merealisir kehidupan Demokrasi Terpimpin di Indonesia guna menyelamatkan Indonesia yang terancam oleh praktik demokrasi liberal yang mengarah ke anarki, defaitisme, perpecahan dan kelumpuhan bangsa," tutur pendiri PNI, Sunario melalui buku Banteng Segitiga (1972).
Kekuatan politik berhaluan agamis terbesar yakni Partai NU. Masyumi sudah dibubarkan akibat terlibat pemberontakan PRRI/Permesta beberapa tahun sebelumnya.
Kekuatan politik berhaluan komunis yang paling dominan adalah PKI. Mereka berhasil menggalang kekuatan semakin besar setiap tahunnya meski pada 1948 banyak anggotanya yang hilang.
Tahun 1965 terjadi pergolakan. Gerakan 30 September pecah. PKI dituding jadi dalang di balik gerakan yang dituduh akan melakukan kudeta.
Puncaknya PKI dibubarkan dan dinyatakan sebagai organisasi terlarang oleh Soeharto yang saat ini mengemban Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) dari Sukarno.