Slamet, seorang warga sekitar mengakui tentang cerita-cerita seram yang beredar di sekitar masyarakat. Dia bercerita, dulu sering ditemukan mayat di sekitar Alas Roban.
Nani, istri Slamet menimpali. "Dulu sekitar tahun 1980-an saat saya kecil sering dengar suara tembakan, tahu-tahu besoknya ada mayat," kata dia.
Slamet bahkan menceritakan mitos manusia berkepala anjing. Boleh percaya, boleh tidak, kata dia, sambil menunjuk satu titik di depan rumahnya. Rumah Slamet persis di pinggir jalan persimpangan untuk memasuki jalur Alas Roban dari arah Kendal.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Titik itu seperti gapuranya, ada penunggunya. Setiap di pasang rambu di tengah jalan cabang itu, selalu saja ada kecelakaan. Bus, truk, mobil pribadi nabrak itu tiang, makanya sekarang enggak ada tiang rambu lagi," katanya.
Dalam bukunya, 'Dua Abad Jalan Raya Pantura', Endah Sri Hartatik mengatakan Alas Roban memiliki kekhasan tersendiri, termasuk soal keangkeran. Alas Roban, menurutnya, menampilkan dua wajah yang akrab dengan masyarakat Indonesia, yakni klenik dan prostitusi.
"Penelitian saya telah membuktikan bahwa prostitusi hadir ketika pangkalan truk, tempat beristirahat para sopir didirikan di sana," kata Endah.
Soal keangkeran Alas Roban, Endah mengembalikannya kepada masyarakat. Namun ia tak menampik bahwa Alas Roban pernah jadi ladang pembuangan mayat-mayat diduga penjahat pada rezim Orba.
"Saya masih ingat, ketika pulang sekolah (SMA) waktu itu. Pagi-pagi ada mayat dalam karung goni, di dalamnya diselipkan uang untuk biaya penguburan, masyarakat sudah tahu itu," ujar dia.
Alas Roban merupakan rimba jati. Belantara yang tak luput jadi renik megaproyek ambisius Jalan Raya Pos semasa Daendels. Alas Roban terbentang di daerah Kendal, Batang. Namanya pamor berlumur kisah mistis.
Dari asal-usul namanya, Roban bermula dari kata 'rob' yang berarti air yang naik. Kondisi geografis Alas Roban memang berada di pesisir pantai utara Jawa. Rentan terendam ketika hujan atau volume air laut meningkat. Banyak hutan basah di sekitar roban.
Sejarawan Arief Dirhamzah menyebut eksistensi Alas Roban telah ada sejak permulaan abad ke-17 era Kerajaan Mataram. Alas Roban merupakan belantara yang dibuka sebagai tanah perdikan.
Pekerjaan membuka (babad) Alas Roban di bawah seorang Raja Pajang (1587-1588 M), bernama Pangeran Benawa yang melepaskan jabatannya dan secara diam-diam pergi berkelana ke timur. Ia pergi karena kecewa, ketika Panembahan Senopati mengangkat diri sebagai Raja Mataram dan tidak mau meneruskan takhta Kasultanan Pajang.
"Sekitar tahun 1605 diperkirakan wilayah Alas Roban mulai terbentuk area permukiman dan persawahan sebagai cikal Bakal sebuah daerah," ujar Arief.
Informasi tersebut bisa ditemukan dalam Babad Serat Kanda, pada bagian Serat Anyariosaken ingkang Adhedekah Wana Sakilening Semarang dados Nagari Kendal tuwin Parakan. Pangeran Benawa menyerahkan penugasan babad Alas Roban kepada Ki Bahurekso, yang merupakan seorang panglima armada laut kerajaan Mataram.
Jika Alas Roban semasa Mataram jadi tempat keramat, maka perwujudannya mulai menjadi angker memasuki masa kolonial hingga era kemerdekaan.
Alas Roban menjadi lokasi yang menyeramkan. Dua alasan yang kerap jadi kambing hitam: pembantaian massal atas kerja semasa Daendels, dan Alas Roban yang jadi 'lubang' pembuangan mayat-mayat penembak misterius (petrus) di tahun 1980an.
"Istilah angker atau tidak angker sebenarnya bergantung persepsi masyarakat. Tapi dalam persepsi masyarakat Jawa, tempat yang paling angker memang hutan," ujar guru besar sejarah Universitas Negeri Semarang (Unnes) Prof Dr Wasino kepada CNNIndonesia.com.
Wasino mengatakan persepsi masyarakat memang turut terbentuk ketika wilayah itu jadi pemberitaan sebagai lokasi pembuangan mayat penembakan misterius. Masyarakat, kata Wasino, dibumbui berita mengenai banyaknya mayat bertato, yang dipandang rezim orde baru saat itu sebagai penjahat sekaligus residivis.
"Ya, persepsi masyarakat sedemikian terbentuk," kata Wasino.
Kini wajah Alas Roban kembali berubah. Kata Slamet, sejak pembangunan dua jalur alternatif di Alas Roban, kondisi sempat berubah. Volume kendaraan yang melintas semakin banyak setelah pembangunan jalur alternatif.
"Tadinya satu jalur berkelok, sekarang jadi tiga. Padang Roban," kata Slamet.
Namun, setelah munculnya tol Trans Jawa, kondisi kembali seperti ke masa lalu. Hutan kembali senyap. Bahkan, kata dia, monyet-monyet yang sempat menghilang kembali lagi.
"Padahal dulu pas dibangun sempat enggak ada, tapi sekarang ada lagi. Saking sepinya, monyet-monyet muncul lagi." kata Slamet.
(ugo/sah)