Jakarta, CNN Indonesia -- Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera Anugerah Rizki Akbari menyarankan perubahan terminologi '
makar' menjadi 'serangan' dalam Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).
"Lebih baik hilangkan itu [istilah Makar] dan ganti 'serangan', dengan itu baru kita bisa tau bahwa dengan adaya serangan baru kita bisa hukum perbuatan itu," ujarnya, dalam acara 'Menalar Makar: Miskonsepai Delik Makar dalam Penegakan Hukum', di gedung Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Jakarta, Rabu (15/5).
Hal ini dikatakannya dengan terkait sejumlah kasus makar yang ditangani kepolisian akhir-akhir ini. Misalnya, kasus yang menjerat politikus PAN sekaligus tokoh 212 Eggi Sudjana, Mayor Jenderal TNI (Purn) Kivlan Zen, politikus Partai Gerindra Permadi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Yang terakhir adalah kasus video
viral saat demonstrasi di depan gedung Bawaslu yang mengungkapkan perkataan seorang demonstran, HS, yang siap memenggal kepala Presiden Joko Widodo.
Menurut Rizki, istilah makar di Indonesia diambil dari kata
Aanslag dalam bahasa Belanda yang memiliki makna penyerangan. Baginya, makar seharusnya memiliki unsur menyerang meski belum selesai dilakukan atau baru terencana. Bukan hanya indikasi pengkhianatan terhadap negara, pemimpin, atau pemerintah.
 Wakil Direktur Reskrimum Polda Metro Jaya AKBP Ade Ary Sam menunjukkan foto HS, demonstran yang mengaku siap memenggal Jokowi. ( CNN Indonesia/Andry Novelino) |
Dengan begitu, lanjutnya, makar bisa dihukum secara jelas karena unsur menyerang atau niat menyerangnya. Sementara, definisi makar dalam perundangan yang digunakan aparat untuk menjerat para pihak di atas saat ini masih ambigu. Sebab, tak ada tindakan nyata 'serangan' yang dilakukan mereka.
Permasalahannya, kata Rizki, adalah karena KUHP tidak menjelaskan definisi makar itu sehingga cenderung disalahartikan dan bisa menjerat sembarang orang.
"[Solusi] jangka pendeknya sederhana, selesaikan tafsir ini, kita semua harus tanggung jawab, media harus bisa mengedukasi dan ahli hukum harus bisa menjawab, kalau jangka menengah dan panjangnya ubah itu undang-undangnya, KUHP-nya," ujar dia.
Sebelumnya, Direktur Program Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu mengatakan pasal makar tak bisa menjerat HS, pria yang mengaku akan memenggal kepala Jokowi.
"Menyebutkan atau bahkan mengancam akan membunuh presiden bisa jadi merupakan suatu delik pidana, namun belum bisa dinyatakan sebagai pidana makar," kata dia, Rabu (15/5).
Erasmus menjelaskan bahwa delik makar tak bisa berdiri sendiri. Pasal 104 KUHP itu, kata dia, memiliki dua unsur; makar dan maksud membunuh, merampas kemerdekaan atau meniadakan kemampuan presiden atau wakil presiden memerintah.
 Foto: CNN Indonesia/Laudy Gracivia |
Sementara, pengaturan makar dimuat dalam pasal 87 KUHP. Pasal itu menyebut dua syarat makar, yakni niat dan permulaan pelaksanaan. Walhasil, kata Erasmus, HS harus dapat dibuktikan sudah memenuhi unsur permulaan pelaksanaan dengan maksud untuk membunuh presiden.
"Kuncinya tetap, permulaan pelaksanaan itu harus dengan logis dan terukur dapat membunuh presiden," ucapnya.
[Gambas:Video CNN] (ani/arh)