Jakarta, CNN Indonesia -- Pengumuman dan pelantikan menteri-menteri
Kabinet Indonesia Maju oleh Presiden Joko Widodo (
Jokowi) dan Wakil Presiden Ma'ruf Amin memunculkan beragam tanggapan. Ada yang gembira karena telah lama menanti. Ada pula yang kecewa lantaran tidak puas.
Mereka yang selama ini memutuskan untuk tidak memilih atau kalangan golongan putih (
golput) pada Pilpres 2019 lalu juga turut memberikan tanggapan. Secara garis besar, mereka menganggap kabinet baru mengecewakan namun tidak mengagetkan.
Berikut tanggapan para dedengkot golput terhadap komposisi Kabinet Indonesia Maju.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dandhy LaksonoMenanggapi hasil Pemilu 2019 dan susunan Kabinet Indonesia Maju, Pendiri rumah produksi Watchdoc Dandhy Laksono menyebut Indonesia memasuki masa Orde Oligarki.
Medio 1959-1966 dikenal dengan Orde Lama. Lalu 1966-1998 dikenal dengan Orde Baru. Kondisi saat ini, kata aktivis sosial dan HAM itu, tepat jika disebut dengan Orde Oligarki.
"Kabinet ini mengonfirmasi bahwa Indonesia memasuki Orde Oligarki. Tidak hanya kabinet, tapi DPR juga mencerminkan ini. Ratusan pengusaha dan para handai taulan pejabat, berkumpul semua," kata Dandhy melalui pesan singkat, Kamis (24/10) malam.
Dandhy mengatakan Orde Reformasi hanya berjalan tiga tahun. Ketika Megawati Soekarnoputri menjabat sebagai presiden, menurut dia, Orde Reformasi sudah berhenti karena masalah di Aceh ditangani dengan darurat militer.
Dandhy menganggap dua periode Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) juga tidak menjalankan agenda reformasi.
"Lalu di periode Presiden Jokowi, semakin jauh dari semangat reformasi, dan menurut saya ini bisa dikategorikan periode baru, yaitu Orde Oligarki," ucapnya.
Dandhy mengaku tidak terkejut dengan susunan anggota DPR hasil Pemilu 2019 dan komposisi menteri Kabinet Indonesia Maju. Menurutnya, justru mengejutkan ketika kesadaran masyarakat tumbuh dengan cepat.
"Dari semula tak terlalu akrab dengan gejala oligarki, kini lewat gerakan #ReformasiDikorupsi, kesadaran ancaman oligarki semakin dipahami," tuturnya.
 Dandhy Laksono (kiri) menyebut saat ini Indonesia memasuki Orde Oligarki (CNN Indonesia/ Adhi Wicaksono) |
Dhyta CaturaniAktivis sosial dan HAM Dhyta Caturani tidak heran dan kaget dengan komposisi Kabinet Indonesia Maju. Dia pun tidak menyesal memutuskan untuk tidak memilih alias golput pada Pilpres 2019 lalu.
Menurutnya, sudah jelas terlihat kelompok oligarki berada dalam kabinet. Ketika mereka bersaing di Pemilu atau Pilpres lalu, pada ujungnya akan berada di barisan yang sama dan sama-sama ingin memperoleh keuntungan.
"Akan mengorganisir diri untuk bersatu berdasarkan kepentingan yang sama, yang tentu tidak berpihak pada rakyat," ucapnya.
Menurut Dhyta, itu adalah sebuah keniscayaan dalam politik Indonesia yang bobrok, sehingga tidak akan memberi ruang kepada orang baik untuk bisa terlibat mengurus negara.
Dhyta kemudian menyinggung soal kekecewaan pendukung militan Jokowi ketika Prabowo diangkat menjadi Menteri Pertahanan. Menurutnya, kekecewaan mereka tergolong naif.
Dia menegaskan bahwa Jokowi, selama 5 tahun pertama berkuasa, telah mengabaikan amanat reformis dan tidak melunasi janji kampanye pada 2014. Mantan petinggi militer yang diduga melakukan pelanggaran HAM di masa lalu pun dilibatkan dalam kabinet periode pertama.
"Prabowo hanyalah
icing on the cake," tutur Dhyta.
"Pertanyaan saya sekarang adalah apakah para pendukung Jokowi yang kecewa kini akan kembali mengambil jalan untuk mengkritisi Jokowi seperti yang telah dilakukan oleh para golputers selama ini? Mudah-mudahan saja," lanjutnya.
 Direktur Kantor Hukum AMAR Alghiffari Aqsa (kanan)berharap masyarakat tidak lagi mendukung tokoh politik dengan fanatik (CNN Indonesia/Fajrian) |
Alghiffari AqsaDirektur Firma Hukum dan HAM AMAR Alghiffari Aqsa menganggap komposisi menteri dalam Kabinet Indonesia Maju adalah bukti bahwa pilpres memang perhelatan milik para elite semata. Bukan milik rakyat selaku pemilik suara.
Orang yang selama ini giat menyuarakan #SayaGolput di Twitter itu menyoroti soal penunjukkan Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan. Menurutnya, siapa pun pemenang dalam Pilpres 2019, tetap masyarakat yang menjadi pihak yang kalah. Terutama korban pelanggaran HAM.
"Siapa pun yang menang, yang kalah korban pelanggaran HAM; pelaku pelanggaran HAM menjadi menteri," ucap Alghif.
"Banyak yang marah ke kelompok golput tapi yang diprediksi oleh kelompok golput mulai terbukti," lanjutnya.
Dia mengaku tidak kaget ketika Prabowo diangkat menjadi salah satu menteri dalam kabinet oleh Presiden Jokowi. Alasannya, menurut Alghif, Jokowi dan Prabowo sama-sama abai terhadap HAM. Prabowo diduga melakukan pelanggaran HAM di masa lalu, sementara Jokowi tidak menuntaskan kasus HAM berat di masa lalu.
"Terlebih ada sejarah kedekatan antara Jokowi-Prabowo-Megawati," tutur Alghif.
"Kabinet elite sekarang bahkan menyingkirkan perempuan dengan minimnya jumlah keterwakilan perempuan," lanjutnya.
Dia lantas berharap masyarakat lebih kritis dalam melihat dinamika politik dengan tidak mendukung berdasarkan fanatisme. Alghif menilai masyarakat perlu membangun sikap politik dengan cara yang lebih terbuka.
Misalnya dengan terlibat dalam unjuk rasa atau protes serta advokasi perubahan peraturan, misalnya UU, peraturan pemerintah, perpres, dan seterusnya, yang tergolong ganjil
"Atau pun melalui jalur peradilan," imbuh mantan Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta tersebut.
Kalangan yang selama ini memutuskan golput cenderung memiliki pendapat yang sama. Mereka pada umumnya tidak kaget maupun heran.
Haris AzharDirektur Kantor Hukum dan HAM Haris Azhar, yang selama ini vokal dan tidak sungkan memproklamirkan dirinya golput, menyoroti soal penunjukan Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan. Diketahui, Prabowo merupakan rival kental Jokowi pada Pilpres 2014 dan 2019 lalu, namun dipilih menjadi menteri dan partainya tidak menjadi oposisi. Tak seperti 2014 lalu.
Menurut Haris, sebenarnya tidak sulit menerima kenyataan ketika Jokowi dan Prabowo sama-sama mau bekerja sama dalam pemerintahan meski sebelumnya bertarung sebagai rival di Pilpres 2019. Dia bicara demikian karena menganggap Jokowi dan Prabowo adalah tipikal orang yang sama.
"Karena mereka memang satu tipe, sama-sama tidak punya karakter untuk pemenuhan hak konstitusional. Dan, sama sama membohongi rakyat dan para pendukungnya masing-masing saat pemilu," tuturnya.
Haris juga menyinggung kembali pernyataan Franz Magnis Suseno yang menghakimi golput sebagai orang yang mengalami
psychofreak. Romo Magnis menyatakan itu melalui artikel di harian Kompas saat tahapan Pilpres 2019 masih berlangsung.
Haris menganggap Romo Magnis bicara demikian kala itu agar kalangan golput memilih Jokowi-Ma'ruf di Pilpres 2019. Akan tetapi, kini ternyata Jokowi mengangkat Prabowo sebagai Menteri Pertahanan. Haris lantas bertanya-tanya.
"Golput dibilang
Psychofreak jika tidak memilih, dengan kata lain, didorong memilih Jokowi. Apa sebutkan yang pas untuk orang yang mengangkat Prabowo menjadi Menteri? Romo Magnis ditunggu jawabannya," imbuh mantan Koordinator KontraS tersebut.
 Direktur kantor hukum dan HAM Lokataru Haris Azhar menganggap Jokowi dan Prabowo adalah dua sosok yang memiliki kesamaan, yakni kerap membohongi masyarakat. (CNN Indonesia/Gautama Padmacinta) |
Lini ZurliaAktivis perempuan Lini Zurlia, yang diketahui kerap diolok-olok di Twitter lantaran menyuarakan golput, menganggap susunan kabinet baru sebagai konsolidasi kekuatan yang sudah direncanakan dengan baik. Dia yakin menteri dipilih atas pertimbangan Jokowi selama 1-2 hari saja.
"Kabinet ini adalah benar kabinet konsolidasi kekuatan antara kekuatan pemodal, polisi yang saat ini super power juga tentara, kekuatan oligarki," ucapnya.
Lini tidak kaget dengan menteri-menteri yang dipilih Jokowi. Termasuk ketika Prabowo didapuk sebagai Menteri Pertahanan meski sebelumnya bertarung di Pilpres 2019 melawan Jokowi. Dia menganggap wajar itu terjadi karena keduanya bagian dari kelompok yang sama.
"Dalam kekuasaan oligarki tidak ada musuh yang abadi, sebab yang abadi adalah kekuasaan dan kepentingan," tuturnya.
[Gambas:Video CNN]Bilven SandalistaBilven, yang merupakan pegiat literasi dan aktif menyindir politikus lewat Twitter, menganggap komposisi kabinet baru Jokowi mengecewakan pendukung fanatik Jokowi mau pun Prabowo. Menurutnya, pendukung masing-masing capres di Pilpres 2019 itu juga pasti kaget.
Tetapi tidak dengan kalangan yang memutuskan untuk tidak memilih alias golput.
"Karena ini membuktikan salah satu tesis kenapa memilih golput: sesungguhnya tidak ada perbedaan signifikan antara 01 dan 02," tuturnya.
Bilven menyinggung Gerindra pengusung Prabowo Subianto kemudian masuk dalam koalisi pemerintahan Presiden Jokowi. Dia lalu mengaitkannya dengan kenyataan tentang Pemilu dan Pilpres 2019 yang telah menghabiskan dana triliunan Rupiah, ditambah ratusan anggota KPPS yang meninggal dunia.
"Semuanya menjadi insignifikan dengan saling berpelukannya kedua junjungan sambil berbagi kekuasaan," ucap Bilven.