Presiden Joko Widodo serta Menteri Komunikasi dan Informasi (Menkominfo) Johnny G Plate mengajukan banding atas vonis melanggar hukum dalam kasus pemblokiran koneksi internet di Papua tahun 2019.
Banding itu diketahui dari salinan Surat Pemberitahuan Pernyataan Banding yang diterima CNNIndonesia.com dari Sekjen Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Revolusi Riza.
"Bahwa pada tanggal 12 Juni 2020 Pihak Tergugat II telah menyatakan banding terhadap putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Nomor: 230/G/TF/2019/PTUN-JKT tanggal 3 Juni 2020," tulis surat yang ditandatangani Panitera Muda Perkara Sri Hartanto dalam salinan surat yang diterima CNNIndonesia.com, Jumat (19/6).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Surat itu ditujukan kepada AJI sebagai penggugat/terbanding. Surat tersebut juga mencantumkan identitas Menteri Komunikasi dan Informatika sebagai Tergugat I/Pembanding I dan Presiden Republik Indonesia sebagai Tergugat II/Pembanding II.
CNNIndonesia.com telah coba mengonfirmasi pengajuan banding itu ke Juru Bicara Presiden Bidang Hukum, Dini Shanti Purwono. Namun hingga berita ini tayang, Dini belum memberikan responsnya.
Sebelumnya, PTUN memutus Presiden RI dan Menkominfo melanggar hukum dalam kasus pemutusan koneksi internet di Papua tahun 2019. Gugatan dilayangkan oleh SAFEnet Indonesia dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI).
Dalam putusannya, hakim juga meminta Presiden Joko Widodo dan Menkominfo Johnny G Plate untuk tidak mengulangi lagi kebijakan serupa.
"Menghukum para tergugat menghentikan dan tidak mengulangi seluruh perbuatan dan/atau tindakan pelambatan dan/atau pemutusan akses internet di seluruh wilayah Indonesia," ucap Hakim PTUN, saat membacakan putusannya, Rabu (3/6).
Putusan ini dibacakan oleh Hakim ketua Nelvy Christin SH MH, hakim anggota Baiq Yuliani SH, dan Indah Mayasari SH MH.
Gugatan terhadap Jokowi dan kabinetnya diajukan oleh Tim Pembela Kebebaasan Pers yang terdiri dari AJI Indonesia, SAFEnet, LBH Pers, YLBHI, KontraS, Elsam dan ICJR.
Dalam gugatan yang diajukan November 2019, para penggugat meminta hakim menyatakan tindakan pemerintah yang melakukan pembatasan internet pada Agustus dan September tahun lalu melanggar hukum.
Majelis hakim menilai tindakan pemutusan akses internet ini menyalahi sejumlah ketentuan perundang-undangan. Antara lain, Pasal 40 ayat (2a) dan (2b) Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang menjadi dasar hukum Kemenkominfo memperlambat dan memblokir internet.
Majelis hakim menilai, kewenangan yang diberikan dalam pasal tersebut hanya pada pemutusan akses atau memerintahkan kepada penyelenggara sistem elektronik melakukan pemutusan akses terhadap terhadap informasi elektronik dan atau dokumen elektronik yang "bermuatan melawan hukum".
"Pemaknaan pembatasan hak atas internet yang dirumuskan dalam Pasal 40 ayat (2b) UU ITE hanya terhadap informasi elektronik dan atau dokumen elektronik yang memiliki muatan melanggar hukum dan tidak mencakup pemutusan akses jaringan internet," kata majelis hakim.
Majelis hakim juga menyatakan alasan diskresi yang digunakan Kemkominfo untuk memperlambat dan memblokir internet dinilai tidak memenuhi syarat sesuai diatur dalam Undang Undang Administrasi Pemerintah 30/2014.
(ain/dhf/ain)