Jakarta kembali mengetatkan menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) sejak Senin (14/9). Namun pakar meragukan efektivitas PSBB yang digagas Gubernur DKI Anies Baswedan ini karena tak disertai konsep penanganan pandemi yang jelas.
Pada Rabu (9/8), Anies menyebut pengetatan kembali PSBB sebagai upayanya menarik rem darurat menyusul lonjakan kasus Covid-19 di Ibu Kota.
Saat itu, DKI mencatat 1.026 kasus baru dalam sehari. Total kasus DKI hingga Rabu (9/9) mencapai 49.837. Anies juga mengungkap 77 persen kapasitas rumah sakit di DKI sudah terpakai untuk penanganan Covid-19.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Seiring berjalannya waktu, Anies dikritik berbagai pihak, termasuk Menko Perekonomian Airlangga Hartarto. Airlangga menyalahkan Anies atas anjloknya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada Kamis (10/9).
Kepala daerah penyangga DKI Jakarta juga enggan ikut kembali mengetatkan PSBB. Bahkan Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto menilai konsep PSBB DKI kali ini belum jelas.
"Dari Jakarta sendiri belum jelas. PSBB total seperti apa? Apakah lockdown total, itu yang belum clear. Masih perlu difinalisasi lagi. Jadi setelah konsepnya jelas baru berkoordinasi lagi," ujar Bima lewat sambungan telepon kepada CNNIndonesia.com, Kamis (10/9) malam.
Pada Minggu (14/9), Anies mengumumkan DKI jadi menerapkan PSBB jilid kedua. Namun sejumlah aturan dinilai lebih longgar dari PSBB jilid pertama.
Misalnya, Anies membolehkan perkantoran di 11 sektor esensial tetap beroperasi dengan maksimal 50 persen karyawan. Sementara perkantoran lainnya masih boleh beroperasi dengan maksimal 25 persen karyawan.
DKI Jakarta juga tak lagi menerapkan pembatasan lalu lintas dari luar wilayah. Tak ada lagi syarat Surat Izin Keluar Masuk (SIKM) bagi warga kota penyangga untuk masuk ke DKI
Pasar dan mal juga tetap dibolehkan beroperasi selama PSBB kali ini. DKI hanya membatasi maksimal pengunjung 50 persen. Restoran juga diperbolehkan buka, meski dibatasi hanya melayani pesan antar.
Semua kelonggaran itu bertolak belakang dengan ucapan Anies yang ingin memperketat PSBB. Padahal, Anies sempat menyebut kondisi Jakarta saat ini lebih parah ketimbang di awal pandemi.
![]() |
Pakar dari Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia (PAEI) Masdalina Pane menilai PSBB DKI Jakarta kali ini cerminan salah kaprah pemerintah dalam menangani pandemi.
Masdalina menjelaskan dalam menangani pandemi seharusnya pemerintah melakukan dua hal, yaitu isolasi dan karantina. Isolasi adalah memisahkan pasien positif dengan populasi sehat. Sementara karantina adalah memisahkan orang-orang yang berkontak dengan pasien positif dari populasi sehat.
"Disebut karantina, tapi sebelas sektor boleh tetap buka, itu kan bukan karantina namanya. Kalau karantina semua orang di rumah, enggak ada lagi yang di jalan-jalan, kecuali darurat. Di kita pura-pura lockdown, tapi semua orang boleh keluar," kata Masdalina kepada CNNIndonesia.com, Senin (14/9).
Dengan membolehkan masyarakat tetap melakukan pergerakan, Masdalina menilai PSBB yang dilakukan DKI kali ini tak akan efektif.
Dia menyarankan pemerintah untuk menerapkan karantina berskala rumah. Jika ditemukan pasien positif, pemerintah harus langsung mengisolasinya. Lalu keluarga di rumah itu dikarantina selama 14 hari.
"Cakupannya adalah rumah. Jika di dalam 1 RT ditemukan kasus positif di beberapa rumah, maka satu RT itu yang dikarantina," ucapnya.
Selama dikarantina, kata Masdalina, tidak boleh ada satu orang pun yang keluar rumah. Sebagai gantinya, pemerintah memasok seluruh kebutuhan mereka.
"Ini jauh lebih murah dari karantina satu kota dan pemerintah harus mensubsidi orang terdampak, sedangkan orang yang sakit justru tidak terurus," lanjutnya.
Analis Kebijakan Publik Trubus Rahadiansyah juga memprediksi kebijakan PSBB tak efektif. Pasalnya, aturan PSBB kali ini jauh lebih longgar dari PSBB jilid pertama.
Trubus bilang sebenarnya kebijakan penanganan Covid-19 di DKI sudah lebih baik dari rata-rata daerah lain. Misalnya dengan jumlah tes mencapai 40 ribu per 1 juta penduduk, 4 kali lebih banyak dari standar WHO. Namun pengawasan jadi titik paling fatal Pemprov DKI.
"Lemahnya DKI Jakarta soal pengawasan mobilitas masyarakat. Apalagi masa transisi, sudah tidak ada lagi. Kedua masalah penegakan hukum harus lebih tegas agar masyarakatnya juga disiplin," ucap Trubus kepada CNNIndonesia.com.
Trubus berpendapat efektivitas PSBB DKI juga terancam dengan kepercayaan masyarakat yang menurun. Masyarakat jengah dengan penanganan pandemi yang hanya jadi ajang seteru pemerintah DKI dan pusat.
"Publik sekarang ini menganggap penanganan gagal, terlihat apa yang dilakukan pemprov dan pusat justru ribut ego sektoral. Masyarakat jadi jalan sendiri-sendiri," tuturnya.
(dhf/wis)