Pemerintah sepakat memangkas libur akhir tahun 2020 selama tiga hari. Menko PMK Muhadjir Effendy pada Selasa (1/12) memastikan libur akhir tahun 2020 dan awal tahun 2021 dari yang semula 11 hari nanti hanya delapan hari.
Setidaknya ada dua klaster pemisahan libur yakni libur natal dan libur tahun baru.
Pertama, klaster libur Hari Raya natal adalah 24-27 Desember 2020. Kemudian 28-30 tetap ditegaskan sebagai hari kerja, lalu klaster libur pergantian tahun adalah 31 Desember 2020-3 Januari 2021. Pemerintah memutuskan memangkas libur panjang natal dan pergantian tahun itu untuk menekan laju penyebaran virus corona (Covid-19) di Indonesia yang telah berlangsung sejak Maret lalu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kalangan epidemiologi menilai pemangkasan yang dilakukan pemerintah belum cukup dan efektif untuk menekan penambahan kasus Covid-19 di Indonesia. Pasalnya, kebijakan tersebut tidak semata-mata membuat masyarakat menjadi dibatasi pergerakannya.
"Inti dari pengendalian dan mencegah keburukan dari pandemi itu, bukan masalah berkurangnya hari sebetulnya. Tapi membatasi mobilitas orang membatasi, interaksi orang," kata Epidemiolog Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman saat dihubungi CNNIndonesia.com, Rabu (2/12).
Dicky mengatakan langkah pemerintah tersebut harus diikuti dengan sejumlah kebijakan turunan untuk menanggapi kebijakan itu. Menurutnya dengan hanya mengurangi jumlah libur tidak akan memberi jaminan masyarakat tak bepergian.
Epidemiolog ini juga mengingatkan pemerintah tak bisa membuat kebijakan-kebijakan lain yang ternyata malah bertentangan dengan tujuan awal dari pengurangan hari libur tersebut.
Beberapa di antaranya seperti mengobral harga tiket moda transportasi umum, mempermudah masyarakat bepergian atau pulang kampung. Hingga mengadakan acara-acara yang justru malah membuat kerumunan sehingga berpotensi melanggar protokol kesehatan Covid-19.
"Jadi ada mekanisme yang dibuat, misalnya untuk memastikan karyawan tidak pulang kampung atau keluar daerah. Dan Pemda juga harus mengikuti begitu," ujar Dicky.
"Supaya orang-orang ini tetap diam di rumah atau di lokasi atau zona dia tinggal," tambahnya.
Menurut Dicky, selama ini pemerintah pusat hingga para pemda masih belum berhasil dalam menekan mobilitas penduduk. Padahal, kata dia, hal tersebut menjadi salah satu cara yang efektif untuk dapat meredam penyebaran virus selama pandemi.
"Walaupun hanya satu hari liburnya, kalau orang itu mobile, ke mana-mana, sama saja," kata Dicky.
Dia lalu membandingkannya dengan negara lain yang dinilai sukses menghadapi Covid-19 yakni di China. Dicky mengatakan negara yang mula diketahui munculnya wabah Covid-19 itu sempat menutup akses bagi para pendatang dari luar, termasuk para perantau untuk dapat masuk ke wilayahnya.
Pada awal tahun bahkan pemerintah China dengan tegas melarang warga Wuhan dan provinsi-provinsi sekitarnya untuk melangsungkan kegiatan mudik, meskipun tradisi tersebut juga lazim dilakukan saat hari-hari besar di sana.
Oleh karena itu, Dicky mengimbau pemerintah Indonesia terutama para pemda agar lebih menguatkan metode pemantauan bagi setiap masyarakat yang akan melakukan pergerakan atau aktivitas di luar rumah. Termasuk, pascahari libur nantinya tracing atau pelacakan kasus harus lebih diintensifkan.
![]() |
Tak jauh berbeda, pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah pun pesimistis kebijakan pangkas hari libur itu akan efektif di situasi pandemi Covid-19 saat ini.
Berdasarkan pengamatannya, saat ini masyarakat sudah terbiasa untuk hidup dengan mengabaikan protokol kesehatan Covid-19 secara lebih intens. Belum lagi, upaya edukasi pemerintah akan gaya hidup 3M --mencuci tangan, menggunakan masker, menjaga jarak-- juga belum diterima sepenuhnya masyarakat.
"Jelas tidak akan efektif memutus mata rantai penyebaran Covid. Malah justru ini nanti bisa saja terjadi ledakan, karena hari libur yang pertama itu nanti orang akan memanfaatkan waktu libur yang ada sehingga berpotensi terjadi kerumunan," kata Trubus saat dihubungi.
Belum lagi, kata dia, kali ini hari libur dibagi menjadi dua gelombang. Sehingga, dia merasa nantinya pemerintah akan lebih sulit untuk memonitor pergerakan masyarakat yang terjadi selama hari libur.
Selain itu, Trubus menilai tiga hari libur yang dipangkas pemerintah nantinya akan menjadi 'hari kejepit' bagi para pekerja. Oleh karena itu, menurutnya, bukan tidak mungkin malah akan membuat mobilitas acara atau kegiatan yang lebih besar, khususnya di perkantoran atau tempat-tempat destinasi wisata dalam kota.
"Di akhir tahun, mereka dikhawatirkan akan makan bersama, dan lain-lain. Itu kemudian penularan di perkantoran makin meninggi karena pengawasan dan penegakan hukum yang lemah," ucap Trubus.
"Tempat-tempat wisata seperti Ancol, ragunan, atau mal-mal itu akan jadi tempat kumpul. Di situ akan terjadi kerumunan, nanti jadi sumber malapetaka Covid," imbuhnya.
![]() |
Belum lagi, pemerintah juga dimintai untuk mengantisipasi para pelaku bisnis yang memanfaatkan situasi libur di tengah pandemi ini untuk meraup keuntungan. Contohnya, kata Trubus, dengan mengadakan sejumlah kegiatan ataupun pemberian diskon-diskon yang menarik perhatian masyarakat.
Sebagai informasi, upaya serupa sudah sempat pemerintah lakukan saat menggeser jatah cuti bersama Idul Fitri yang sedianya berlangsung pada Mei 2020 lalu. Kala itu, pemerintah berupaya memutus penyebaran virus dengan menggeser cuti bersama ke akhir tahun.
Harapannya, wabah dapat mereda dan diatasi. Namun, nyatanya hingga saat ini pandemi masih belum dapat dikendalikan dengan mengacu pada kasus positif yang masih terus meningkat setiap harinya. Bahkan setiap kali libur panjang, jumlah positif Covid-19 cenderung melonjak.
Bila merujuk data Satgas Penanganan Covid-19, penambahan jumlah kasus positif Covid-19 baik secara harian maupun kumulatif mingguan naik 69-93 persen sejak libur Idul Fitri 22-25 Mei 2020. Peningkatan kasus terlihat dalam rentang waktu 10-14 hari kemudian.
Hal serupa juga terjadi pada libur panjang Agustus 2020 lalu. Penambahan jumlah kasus positif Covid-19 baik secara harian maupun kumulatif mingguan melonjak 58-118 persen sejak libur panjang 20-23 Agustus 2020. Serupa sebelumnya, lonjakan kasus tampak dalam rentang waktu 10-14 hari kemudian.
Teranyar, libur panjang 28 Oktober-1 November 2020 yang menyumbang peningkatan kasus sebesar 17-22 persen. Angka ini didapat sepanjang 8-22 November 2020.