Warga Gugat Perda DKI soal Denda Rp5 Juta Bagi Penolak Vaksin

CNN Indonesia
Jumat, 18 Des 2020 09:53 WIB
Seorang warga memohon uji materi Perda DKI yang mengatur sanksi penolak vaksin corona karena memberatkan dan bertentangan dengan UU HAM.
Gedung Mahkamah Agung, Jakarta. (Foto: Adhi WIcaksono)
Jakarta, CNN Indonesia --

Warga bernama Happy Hayati Helmi menggugat peraturan daerah (perda) di DKI Jakarta yang mengatur sanksi bagi penolak Vaksin Covid-19 ke Mahkamah Agung (MA).

Pemohon bersama tiga orang kuasa hukumnya yaitu Viktor Santoso Tandiasa, Yohanes Mahatma Pambudianto dan Arief Triono mendaftarkan gugatan uji materi atau judicial review Pasal 30 Perda Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penanggulangan Covid-19 itu, kamis (17/12).

"[Permohonan didaftarkan] Rabu kemarin," ujar Viktor kepada CNNIndonesia.com melalui keterangan tertulis, Jumat (18/12).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Aturan yang digugat itu memuat ketentuan: "Setiap orang yang dengan sengaja menolak untuk dilakukan pengobatan dan/atau vaksinasi Covid-19, dipidana dengan pidana denda paling banyak sebesar Rp5.000.000,00."

Viktor berpendapat ketentuan tersebut bersifat memaksa setiap warga yang berdomisili di DKI Jakarta lantaran terdapat sanksi pidana Rp5 juta bagi mereka yang menolak vaksinasi Covid-19.

Hal ini, menurut dia, bertentangan dengan Pasal 5 ayat (3) UU 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang memberikan hak kepada setiap orang secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya.

"Terlebih lagi, menurut Menteri Kesehatan, vaksinasi hanya pertahanan kedua dari risiko penularan Covid-19. Pertahanan utama yang harus dijalankan oleh masyarakat adalah protokol 3M yakni memakai masker, mencuci tangan, serta menjaga jarak dan menghindari kerumunan," tuturnya.

Pemohon, lanjut Viktor, tidak mempunyai pilihan untuk dapat menolak vaksinasi Covid-19. Ia menambahkan nilai sanksi Rp5 juta sangat besar mengingat Pemohon juga memiliki seorang suami, seorang adik, dan seorang anak yang masih balita.

"Artinya apabila Pemohon menolak vaksinasi bagi keluarganya, maka Pemohon harus membayar denda sebesar Rp5.000.000 x 4 Orang = Rp20.000.000," ungkapnya.

Viktor menerangkan Pasal 30 Perda Nomor 2 Tahun 2020 juga tidak memberikan kejelasan bagi warga yang telah membayar denda apakah sudah melepas kewajibannya untuk mendapatkan vaksinasi Covid-19 di kemudian hari atau tidak.

"Artinya bisa saja jika Pemohon menolak vaksinasi dengan membayar denda, di kemudian hari datang kembali petugas untuk melakukan vaksinasi Covid-19 kepada Pemohon dan keluarganya," imbuhnya.

Viktor menilai pengenaan sanksi denda juga bertentangan dengan Pasal 3 ayat (2) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM.

Ia berujar, pengaturan pidana denda tidak memberikan jaminan, perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta tidak memberikan kepastian hukum, karena setiap warga DKI Jakarta memiliki tingkat ekonomi yang berbeda-beda.

Menurut dia, warga yang memiliki ekonomi bagus bisa saja menolak untuk divaksin dengan membayar denda. Namun terhadap warga yang tidak mampu membayar denda, maka mau tidak mau warga tersebut harus dilakukan vaksinasi Covid-19.

"Padahal terkait dengan efektivitas, efek samping vaksin Covid-19 belum diketahui secara pasti. Bahkan perusahaan yang memproduksi vaksin Covid-19 yang saat ini telah masuk ke Indonesia sebanyak 1.200.000 vaksin (Sinovac) menyebutkan bahwa hingga saat ini belum diketahui kemanjuran dari vaksin tersebut," imbuhnya.

Infografis Survei Vaksin pada MasyarakatInfografis Survei Vaksin pada Masyarakat. (Foto: Dok. KPC PEN)

Lebih lanjut, ia menyatakan ketentuan denda itu bertentangan dengan asas keadilan dan ketertiban, serta kepastian hukum sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6 ayat (1) huruf g dan huruf i UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

"Maka terhadap frasa: "dan/atau vaksinasi Covid-19" sebagaimana termuat dalam Pasal 30 Perda 2/2020 telah terbukti bertentangan dengan Pasal 5 ayat (3) UU 36/2009, Pasal 3 ayat (2) UU 39/2009, dan Pasal 6 ayat (1) huruf g dan huruf i UU 12/2011," pungkasnya.

(ryn/arh)


[Gambas:Video CNN]
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER