ANALISIS

Lampu Hijau Mudik dan Pelajaran dari Keledai

CNN Indonesia
Kamis, 18 Mar 2021 11:30 WIB
Penumpang bus antar kota antar provinsi (AKAP) di Terminal Kampung Rambutan, Jakarta Juli 2020. (CNN Indonesia/Bisma Septalisma)
Jakarta, CNN Indonesia --

Keledai saja tak jatuh di lubang yang sama sampai dua kali. Pepatah itu bermaksud mengingatkan, bahwa sebodoh-bodohnya orang, ia tak akan mengulang kesalahan sebelumnya.

Di masa pandemi corona, pepatah yang pertama kali dipopulerkan penulis Yunani Homer dan Aesop, itu kembali dilontarkan Ketua Institut Studi Transportasi (Instran) Darmaningtyas. Dia mengingatkan pemerintah agar konsisten dalam menerapkan kebijakan untuk menanggulangi Covid-19, terutama soal rencana pemerintah untuk memperbolehkan mudik.

Kata Darmaningtyas, kebijakan pemerintah tidak melarang mudik tahun ini menunjukkan inkonsistensi dalam memerangi covid-19. Menurutnya pemerintah harus tegas sejak awal untuk melarang mudik lebaran mengingat masalah pandemi belum selesai.

Darmaningtyas meminta pemerintah belajar dari kondisi libur panjang di 2020 yang kerap menyebabkan lonjakan kasus baru.

"Masa pemerintah tidak belajar dari kasus tersebut? Keledai saja tidak mau terantuk pada batu yang sama, masak pemerintah mau terantuk pada batu yang itu-itu saja sih," kata Darmaningtyas.

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi sempat memberikan sinyal lampu hijau soal mudik. Dia mengatakan bahwa pemerintah tidak melarang warga untuk mudik lebaran esok. Kebijakan itu berbeda dari tahun 2020 lalu, kala itu pemerintah tegas menggunakan frasa dilarang mudik.

Budi bakal menjamin pihaknya membuat mekanisme protokol kesehatan ketat yang disusun bersama Satuan Tugas Penanganan Covid-19 untuk tahun ini, namun upaya itu dinilai masih gamang. Sebab, mudik yang identik dengan mobilitas warga disebut sebagai ancaman terjadinya peningkatan kasus covid-19 di Indonesia.

Epidemiolog Universitas Airlangga Windhu Purnomo lantas menilai kebijakan pada pelonggaran mobilitas warga itu sebagai sebuah ancaman yang besar. Bila melihat riwayat kenaikan kasus covid-19 setelah libur panjang, Windhu yakin libur lebaran disertai tak ada larangan mudik akan membuat lonjakan kasus covid-19 terjadi di tanah air.

Windhu pun mengaku sedari awal sudah tak menaruh harapan banyak perihal penanganan pandemi covid-19 di Indonesia. Namun dengan kebijakan anyar itu, Windhu tak habis pikir mengapa 'ladang' kenaikan kasus covid-19 malah direlaksasi oleh pemerintah.

"Kita lihatnya mudah, antara Mei tahun lalu menjelang lebaran itu mudik dilarang yang boleh pulang kampung. Padahal itu kasus harian 10 kali lebih rendah dari sekarang, dan itu dilarang. Sekarang kasus harian per hari 10 kali lipat malah tidak dilarang, itu saja dari logika bingung begitu kan," kata Windhu saat dihubungi CNNIndonesia.com, Kamis (18/3).

Windhu meminta pemerintah masih tetap fokus pada upaya pengendalian pandemi dari sisi sektor kesehatan, sebab hingga saat ini kasus covid-19 di Indonesia belum terkendali, meski terjadi penurunan kasus dalam beberapa pekan terakhir ini. Justru dengan penurunan itu, Windhu tak ingin upaya-upaya yang telah dilakukan akan menjadi sia-sia.

Adapun bila pemerintah berniat melonggarkan aktivitas yang berhubungan dengan mobilitas warga, maka pemerintah, kata Windhu, harus mengikuti anjuran dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) soal positivity rate.

WHO menyebut kondisi negara telah aman bila positivity rate berada di angka 0-2 persen. 2-5 persen berarti cukup aman, 5-19 persen dapat dikatakan berisiko, dan diatas 20 persen disebut sangat berisiko. Sedangkan di Indonesia, hingga saat ini positivity rate harian rata-rata berada di 15 persen, dan bahkan mencapai 40,07 persen pada 18 Februari lalu.

"Jadi di tengah-tengah kita yang masih berisiko dan malah sempat berisiko tinggi, kita kok mau melonggarkan aktivitas yang tidak esensial seperti mudik. Itu aneh, saya tidak mengerti. Jadi wajah pemerintah ini kita tidak tahu, maunya apa? mengendalikan pandemi atau tidak?," kata dia.

Tak hanya itu, Windhu pun menyoroti upaya tes, telusur, dan tindak lanjut (3T) yang dilakukan pemerintah hingga saat ini belum optimal. Malah di tengah kurangnya usaha itu, Windhu menyebut kondisi saat ini seluruh pihak fokus pada program vaksinasi.

Sedangkan untuk jalannya program vaksinasi, Windhu melihat laju vaksinasi sangat lambat. Dari target 181,5 juta penduduk Indonesia yang akan divaksin, baru 4.705.248 orang yang mendapat suntikan pertama, dan 1.876.140 orang yang rampung mendapat suntikan kedua.

Itu artinya, baru 3,62 orang yang mendapat suntikan dosis pertama, sementara dapat dikatakan baru 1,03 persen dari total sasaran vaksinasi pemerintah yang rampung menerima vaksin.

"Jadi kita semua masih jelek, vaksinasi lamban sekali, testing juga kurang optimal, kepatuhan masyarakat jelek karena jaga jarak turun jadi 30 persen saja sekarang," jelasnya.

Dengan seluruh kondisi dan kebijakan yang ditempuh pemerintah, Windhu bersoloroh dan menduga bahwa pemerintah memang sengaja menuju herd immunity secara alami tanpa perantara vaksin.

Herd immunity merupakan kekebalan kelompok terhadap virus. Artinya, bila mayoritas orang atau lebih dari 70 persen penduduk Indonesia terpapar covid-19, maka mereka mampu menciptakan kekebalan sendiri.

Namun upaya itu sangat berisiko tinggi sebab akan melahirkan banyak kasus kematian, utamanya bagi mereka yang memiliki imunitas rendah seperti para kelompok rentan terpapar covid-19, yakni warga lanjut usia.

"Apa memang pemerintah sengaja membuat herd immunity secepatnya melalui infeksi, artinya kalau tertular semua dengan mobilitas tinggi akhirnya akan tertular, dan semua mencapai herd immunity, tapi kematian jelas tinggi. Jangan-jangan strateginya begitu, diam-diam, ya karena semua dilonggarkan," selorohnya.

Wajah Inkonsisten Pemerintah


BACA HALAMAN BERIKUTNYA
HALAMAN :