Jakarta, CNN Indonesia --
Sejumlah daerah di luar Pulau Jawa dan Bali berpotensi mengalami lonjakan kasus Covid-19. Tim Mitigasi Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mewanti-wanti beberapa daerah di antaranya Kalimantan Selatan, Palembang, dan Jambi.
Teruntuk Kalimantan Selatan, data pada Selasa (27/7) menunjukkan ada 517 orang yang terinfeksi virus corona (Covid-19). Banjarmasin menjadi penyumbang terbanyak dengan 120 kasus. Diikuti Banjarbaru dengan 71 kasus dan Tapin 57 kasus.
Dari 517 kasus, terdapat 372 orang dinyatakan sembuh dan 20 meninggal dunia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ahli Epidemiologi Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Husaini mengungkapkan kenaikan kasus Covid-19 disebabkan karena permasalahan dalam penanganan 3T yakni tracing (pelacakan), testing (pemeriksaan), dan treatment (penanganan) kasus. Ia meminta pemerintah maupun Satuan Tugas (Satgas) Covid-19 untuk memperbaikinya.
Menurut dia, pelacakan kontak erat di Kalimantan Selatan hanya satu orang per satu kasus positif Covid-19 (1:1). Jauh dari standar organisasi kesehatan dunia (WHO) yang menyebutkan pelacakan kontak erat 1:30.
"Testing tidak sepenuhnya berbasis pada hasil pelacakan kasus. Itu diketahui bahwa tracing di Kalimantan Selatan dalam 1 bulan ini angkanya di bawah satu. Padahal, minimal menurut WHO 1 positif berbanding 30 yang dilacak atau tracing. Testing yang banyak yang tidak bersumber dari hasil pelacakan kasus itu tanda tanya," ujar Husaini saat dihubungi melalui sambungan telepon, Rabu (28/7).
Ia berujar permasalahan tersebut berdampak buruk terhadap kondisi di mana seseorang bisa menjadi pembawa virus dan penularan terus terjadi tanpa terdeteksi.
Sementara itu, Husaini mengatakan positivity rate dalam satu bulan terakhir di Kalimantan Selatan berada di angka 25-30 persen.
"Minggu terakhir ini angkanya 30 persen positivity rate, padahal WHO hanya boleh maksimum 5 persen. Sangat tinggi. Itu yang menyebabkan dalam sebulan ini kasus di Kalimantan Selatan meningkat. Kapasitas respons dari Pemda khususnya Satgas dalam pelaksanaan 3T jauh dari kapasitasnya," imbuhnya.
Faktor lain yang menyebabkan kenaikan kasus adalah kedisiplinan masyarakat terhadap protokol kesehatan yang masih rendah. Mengutip laporan Satgas Covid-19, ia menuturkan bahwa Kalimantan Selatan termasuk kategori 20 provinsi dengan ketidakpatuhan masyarakat akan protokol kesehatan.
Oleh karena itu, ia menyinggung pentingnya sinergitas antara Satgas Covid-19 dengan sejumlah elemen masyarakat seperti tokoh agama dan organisasi profesi.
"Pengamatan saya, dari Satgas dan masyarakat umum sinergitas kurang mencukupi. Misal, kurang banyak merangkul tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh pemuda, organisasi profesi, elemen masyarakat, kurang cukup, tidak memadai. Padahal, fungsinya sebagai penyambung lidah dari Satgas," tutur Husaini.
 Infografis Kematian Covid-19 Melonjak saat PPKM Darurat. (CNN Indonesia/Asfahan Yahsyi) |
Permasalahan di hulu yakni kekeliruan menerapkan 3T turut memberi dampak terhadap hilir dalam hal ini fasilitas kesehatan. Husaini mengatakan setidaknya ada dua rumah sakit besar di Banjarmasin dan Banjarbaru yang memiliki Bed Occupancy Rate (BOR) di atas 80 persen.
"Di Kota Banjarmasin ada RS Sultan Suriansyah, dia menyediakan 50 bed di luar IGD. Kemarin, 50 sudah terisi bahkan sampai IGD. Walaupun beberapa hari ke depan ditambah 75 bed. Ini menandakan penuh, walaupun diusahakan akan ditambah 75 dan mendirikan tenda antisipasinya," ucap dia.
Banjarmasin dan Banjarbaru merupakan dua provinsi di Kalimantan Selatan yang menerapkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) level 4. Sedangkan 11 wilayah lain menerapkan PPKM level 3.
Husnaini mengkritik kebijakan tersebut karena masih mengakomodasi mobilitas masyarakat. Menurut dia, langkah itu tidak efektif untuk mencegah penularan Covid-19.
"Prinsipnya, jika masih mobilitas dan tempat berkumpul orang boleh apalagi tidak terawasi, maka potensi penularan bisa terjadi," tandasnya.
Peningkatan kasus Covid-19 akibat kekeliruan penerapan 3T juga terjadi di Nusa Tenggara Timur (NTT). Hal itu diamini oleh Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Nusa Cendana, Andreas.
Ia bilang upaya pelacakan kasus yang signifikan belum berjalan dengan baik.
"Memang program [3T] jalan, tapi saya alami sendiri beberapa waktu lalu ada teman saya yang bersentuhan dengan teman yang kemudian positif, tetapi tidak dilacak," kata Andreas kepada CNNIndonesia.com, Rabu (28/7).
Selain itu, Andreas juga menaruh perhatian terhadap perilaku masyarakat yang menurutnya masih acuh tak acuh terhadap Covid-19. Kesadaran masyarakat akan protokol kesehatan masih rendah.
Terlebih, kebijakan yang diambil pemerintah saat ini tidak melarang mobilitas masyarakat.
"PPKM harus lebih tegas dalam hal membatasi masyarakat. Kalau memang pressure-nya kurang, harus tegas dibatasi. Masyarakat di sini banyak yang buat acara, itu di pinggiran-pinggiran kota. Masyarakat sulit untuk diatur," ucap dia.
"Masyarakat kita ini cenderung acuh tak acuh kalau keluarganya belum menjadi korban. Kalau keluarga sudah meninggal, mulai minta maaf, dan seterusnya," sambungnya.
Atas dasar itu, menurutnya, pemerintah provinsi dan Satgas Covid-19 mempunyai tugas yang harus terus dilakukan secara konsisten yakni sosialisasi protokol kesehatan.
"Terus disuarakan di gereja, media, untuk berbagi berita bahwa Covid-19 itu memang mematikan. Sosialisasi terus dilakukan karena ini kan perilaku, butuh waktu lama untuk mereka bisa berubah," pungkas Andreas.
Data harian yang dirilis Satgas Covid-19 per Selasa (27/7) mencatat secara kumulatif, sebanyak 35.831 orang dinyatakan positif terinfeksi virus corona di NTT. Dari jumlah itu, ada 23.874 orang dinyatakan sembuh dan 661 lainnya meninggal dunia.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kesehatan mencatat sejauh ini sudah ada 40 kasus mutasi virus SARS-CoV-2 varian Delta B161.2 di NTT.
Jumlah itu mengalami peningkatan cukup signifikan. Dari yang awalnya pada 21 Juli berjumlah 16 kasus, per 24 Juli 2021 bertambah menjadi 40 kasus varian Delta, atau bisa dikatakan meningkat 2,5 kali lipat selama kurun waktu tiga hari saja.
Pada Selasa (27/7), tercatat 2 warga NTT yang meninggal dunia akibat Covid-19 varian delta.
Varian Delta paling diwaspadai lantaran dinilai memiliki tingkat penularan yang tinggi dan agresif. Kementerian Kesehatan bahkan menyebut, kecepatan penularan varian Delta 6 kali dari varian Alfa, sehingga mampu menciptakan penularan yang eksponensial.