Setelah tahun lalu menggadang-gadang jamu bernama Herbavid-19, Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad kini mendukung alias endorse penggunaan metode terapi autologus activated platelet-rich plasma (aaPRP) sebagai terapi pasien Virus Corona.
Menurutnya, rumah sakit di Indonesia bisa melakukan metode terapi aaPRP secara massal.
"Ini akan mendampingi terapi nasional yang diberikan, sehingga ini relatif aman. Teknologinya tidak sulit, rumah sakit di Indonesia bisa melakukannya secara massal," ucap Dasco dalam keterangannya, usai meninjau Klinik Hayandra yang merupakan klinik dengan metode terapi aaPRP untuk penderita Covid -19, Selasa (10/8).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia mengatakan metode terapi aaPRP relatif murah dan teknologinya cukup sederhana.
"Ini kabar bagus untuk rakyat Indonesia dan dunia kesehatan bahwa untuk terapi pasien Covid-19 kita sudah ada yang tinggal dimasifkan ke seluruh negeri," kata Dasco.
Dia menerangkan, metode terapi aaPRP nantinya akan dilakukan pengambilan darah pasien sebanyak 24cc atau sekitar 1,5 sendok makan. Keseluruhan proses metode terapi aaPRP akan berlangsung selama sekitar 1,5 jam.
Sementara itu, salah seorang dokter dari Klinik Hayandra, Karina F. Moegni, menjelaskan bahwa metode terapi aaPRP bekerja untuk menurunkan badai sitokin dengan antiinflamasi yang terkandung di dalam trombosit pasien.
Lewat metode terapi aaPRP, diharapkan terjadi perbaikan sel-sel yang rusak akibat Virus Corona.
Dia membeberkan, berdasarkan hasil uji klinis fase 1 dan 2 ditemukan ada penurunan angka kematian pada pasien gejala berat hingga kritis.
"Sebelumnya Covid-19 terapi ini sudah banyak digunakan di seluruh Indonesia untuk banyak kasus termasuk antiaging, pain management, ortopedi dan lain-lain. Tapi indikasi untuk penggunaan Covid-19, ini yang baru," ucap dr Karina.
Sebelumnya, Sufmi juga menyebar jamu Herbavid-19 pada April 2020 ke berbagai fasilitas kesehatan, salah satunya Rumah Sakit Darurat Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta.
Ia pun Dasco mengklaim sembuh usai positif Covid-19 pada 14-28 Maret 2020 berkat ramuan tradisional China tersebut.
![]() |
Masalahnya, ia mengirim obat-obatan tersebut ke sejumlah rumah sakit sebelum ada izin edar dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Obat itu baru mendapat izin pada 30 April 2020.
Fenomena endorse obat dan terapi terkait Covid-19 ini sendiri sempat mengemuka dalam kasus Ivermectin serta vaksin Nusantara. Sejumlah anggota DPR tampak getol membela penggunaan dua alat kesehatan yang belum dapat izin dari BPOM tersebut.
Epidemiolog dari Universitas Indonesia (UI) Pandu Riono menilai ramainya endorse berbagai obat oleh pejabat itu membuktikan ada niat mengeruk untung di masa pandemi.
"Motifnya bukan untuk mengendalikan pandemi atau menolong, motifnya ekonomi. Tapi supaya terlihat aman, ditekanlah BPOM," kata dia, Jumat (16/7).
Lihat Juga : |
Tekanan itu salah satunya berkaitan dengan 'pemaksaan' izin penggunaan beberapa jenis obat, misalnya Ivermectin.
"Pertama kan obat keras harus diregulasi lagi. Kan enggak boleh bisa beli borong atau stok. Semua pembelian harus sesuai resep," ucap dia.
Pandu pun meminta pemerintah fokus pada kebijakan penanganan pandemi, bukan malah memicu tumpang tindih kewenangan urusan obat.
"Pemerintah enggak perlu urusi obat di masyarakat. Urusi saja yang di Rumah Sakit. Yang bisa beri obat itu dokter di Rumah Sakit yang merawat pasien. Pemerintah harusnya urus pencegahan, bukan urus obat," tandas dia.