Iban mengatakan, data adalah basis pengambilan keputusan dan kebijakan untuk penanganan Covid-19 yang lebih baik. Jika datanya keliru, tak menutup kemungkinan langkah yang akan diambil pun ikut keliru.
Menghimpun data 100 persen sesuai dengan lapangan untuk saat ini mungkin sulit dilakukan, kata Iban, paling tidak pemerintah harus mengupayakan data itu sedekat mungkin dengan keadaan yang sesungguhnya. Iban menyebut hal itu penting juga untuk memupuk kepercayaan masyarakat kepada pemerintah dalam penanganan Covid-19.
"Seharusnya enggak boleh ada gap, karena itu jadi taruhan orangnya percaya atau enggak," ucap dia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Iban mengatakan ketidakpercayaan masyarakat kepada pemerintah itu bisa berimbas pada yang terburuk, di mana "Dampaknya bisa menyebabkan kematian, karena mereka ini pada akhirnya tidak terarahkan".
Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Hermawan Saputra mengamini bahwa data memang basis penanganan pandemi yang penting. Sehingga, harus lekas diperbaiki.
Hermawan melihat sampai saat ini disharmoni data masih terjadi mulai dari kematian sampai zonasi. "Misalnya data data kesakitan, kematian, suspek, probable itu semua masih berbeda satu sama lain," kata Hermawan melanjutkan.
Dalih pemerintah soal delay data sebagai penyebab perbedaan data di pusat dan daerah, kata Hermawan, mungkin saja benar. Tapi, menurutnya, itu tidak bisa menjadi alasan untuk pemerintah terus menerus menyajikan data yang keliru.
Hermawan mengatakan mekanisme pengumpulan data seharusnya mengacu pada hakikat PPKM. Dalam kebijakan itu, penentuan kebijakan ada di pusat. Sehingga, pengumpulan data harus dikelola langsung oleh pusat.
Saat ini, kata Hermawan, mekanisme pengumpulan data masih tumpang tindih. Ia menyebut setidaknya ada tiga pintu yang bertugas untuk menghimpun data yakni dari Kemenkes terdiri dari Disyankes dan Balitbangkes. Kemudian ada pula dari KPC PEN, serta dari Satuan Tugas Covid-19.
Hermawan menyebut, dengan mekanisme itu sangat dimungkinkan terjadi delay data. Sebab, tahapannya yang panjang dan verifikasi melewati banyak pihak sampai akhirnya diterima oleh pusat.
"Seperti tadi di Bekasi ya. begitu data itu dimasukkan ke dalam sistem, di skala nasional itu baru diketahui seminggu atau 10 hari setelahnya," ucapnya.
Alternatif yang diberikan Hermawan adalah pihak rumah sakit bisa melaporkan langsung ke Kemenkes terkait data Covid-19. Lalu, untuk pasien di luar RS bisa ditangani oleh Satgas yang juga langsung melaporkan ke pusat.
"Jadi perannya itu jelas. Jadi jangan sampai ada tumpang tindih pengelolaan data. Itu akan menyebabkan mismatch. Kemungkinan sulit matching di pusat," ujarnya.