Gaduh soal perbedaan data Covid-19 antara daerah dan pusat seakan tak ada habisnya. Belum selesai soal beda data kematian, muncul perbedaan data lain seperti data zonasi dan level daerah dalam Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM).
Salah satunya yang terjadi di Kota Bekasi, di mana Berdasarkan data terkini Satgas Covid-19, daerah itu menjadi satu-satunya wilayah dengan kategori zona merah di Jawa Barat. Namun, berdasarkan data Pemerintah Kota (Pemkot) Bekasi, tidak ada satupun Rukun Tetangga (RT) yang masuk ke dalam zona merah di wilayah tersebut.
Pada 10 Agustus, Pemkot Bekasi mencatat terdapat 1 RT yang masih berada di zona oranye atau memiliki 3-5 rumah dengan kasus Covid-19. Kemudian 791 RT di zona kuning atau memiliki 1-2 rumah dengan kasus Covid-19, dan 6.343 RT di zona hijau atau tidak ada rumah dengan kasus covid-19.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kasus ketidaksinkronan data lainnya juga terjadi antara Pemkot Solo dengan Pusat. Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka protes daerah yang dipimpinnya oleh Pemerintah Pusat dimasukakn ke dalam PPKM Level 4. Berbeda dengan pusat, Gibran mengklaim seharusnya Kota Solo sudah berada di PPKM Level 3 berdasarkan data Pemkot dan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah.
Sebelumnya, data kematian akibat Covid-19 juga terus menjadi polemik lantaran pemerintah mengeluarkan angka kematian dari indikator penanganan Covid-19. Langkah itu diambil ditengah adanya temuan gap data kematian yang tinggi antara pusat dan daerah.
Pernyataan soal dikeluarkannya angka kematian sebagai indikator itu kemudian dikoreksi oleh pemerintah setelah menuai banyak protes dari berbagai pihak.
Analis Data Lapor Covid-19, Said Fariz Hibban menilai langkah pemerintah untuk menghapus angka kematian dalam evaluasi PPKM memang tidak seharusnya diambil. Bukan pada kasus kematian saja, tapi juga yang lainnya seperti angka tes, angka positif dan kesembuhan.
Pria yang akrab disapa Iban itu menjelaskan, jika pemerintah berdalih sedang melakukan perbaikan data, seharusnya berjalan paralel saja jangan sampai mengapus. Sebab, bagaimana pun angka kematian dan data terkait Covid-19 masih tetap dibutuhkan.
Terlebih, data itu bisa digunakan untuk pembanding dengan data yang sebelumnya belum terinput.
"Kalau menurut saya, kalau narasinya pengen memperbaiki bukan itu caranya. Bagaimana kita memastikan yang baru itu, yang real? Kan angka itu selalu naik," kata Iban kepada CNNIndonesia.com, Jumat (13/8).
Menghapus salah satu data terkait penangan Covid-19 menurut Iban sama saja dengan membuat masalah baru.
"Saya kalau misalnya boleh mengutip quote pegadaian; 'mengatasi masalah tanpa masalah.' Tapi kalau ini beda, 'mengatasi masalah dengan masalah' gitu loh," ujarnya.
Iban menyebut pemerintah tidak seharusnya 'bercanda' dalam penanganan Covid-19. Jika data bermasalah, yang harus diperbaiki adalah pencatatan perkembangan tersebut sebagai fokus pada permasalahan yang dihadapi.
Lihat Juga : |
Sebenarnya, kata Iban, pemerintah punya sumber daya (resources) yang banyak untuk memperbaiki data dari mulai petugas hingga teknologi.
Ia menyarankan, pemerintah bisa menggunakan cara-cara sederhana dan praktis untuk pengumpulan data. Saat ini, Iban melihat banyak cara untuk menghimpun data dengan cepat hanya lewat pesan singkat seperti chatbot di WhatsApp.
"Ada chatbot ya, jadi itu mekanismenya itu pengen ngelaporin apa yang dilaporkan, input data itu. Habis itu datanya tetap masuk ke database, itu bisa dengan mudah digunakan. Karena toh gitu aja udah cukup untuk membuat sistem tersebut cukup 4 orang [seperti di LaporCovid-19]," jelas Iban.
"Mungkin Kemenkes dengan sumber daya yang besar untuk melakukan perbaikan sistem, perbaikan data yang lebih baik, mudah, aman dan real time gitu dan hampir enggak ada alasan lagi untuk malas melapor kecuali memang malas," imbuhnya.
Halaman selanjutnya menjelaskan soal data dalam penanganan pandemi Covid-19.