Palembang, CNN Indonesia --
Tugu yang dibangun untuk mengenang pertempuran hebat antara TNI (dulu Tentara Keamanan Rakyat) melawan Belanda di Palembang pada 1947 kini tersapu dari muka kota. Imbas pembangunan Lintas Rel Terpadu (LRT), tugu jadi jauh dari pandangan dan seolah tak memiliki arti.
Padahal, dulu Tugu 5 Hari 5 Malam dibangun untuk menunjukkan harga diri masyarakat Palembang yang tak rela kembali dijajah selepas Indonesia merdeka. Tugu itu perlambang perjuangan sengit warga Palembang menentang kolonialisme dan mempertahankan kemerdekaan.
"Tugu di Jalan Tengkuruk sekarang jauh dari pandangan, malah mungkin sudah banyak generasi muda yang tidak tahu tugu ini," tutur Sejarawan Universitas Sriwijaya Syafruddin Yusuf.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Simbol Harga Diri Palembang
Tugu 5 Hari 5 Malam dibangun sekitar 1950. Berlokasi di Pasar 16 Ilir, khususnya Jalan Tengkuruk Permai, Kota Palembang, Sumatera Selatan.
Berdasarkan keterangan yang tertulis pada monumen, tugu tersebut dibangun atas sumbangan masyarakat sekitar yang turut terjun dalam pertempuran.
Pertempuran yang dimaksud yakni tarung sengit antara pasukan TNI melawan Belanda pada Pada 1-5 Januari 1947. Banyak pejuang gugur, termasuk perwira bernama Djoko Soerodjo berpangkat Letnan Satu.
Setelah lima hari lima malam bertempur, akhirnya pihak yang berperang sepakat gencatan senjata. Tentara Belanda tidak dapat memasuki Palembang dan hanya bisa mendirikan pos 14 kilometer dari perbatasan.
Pertempuran 5 Hari 5 Malam merupakan momen krusial mempertahankan kemerdekaan RI di Palembang.
Pertempuran pecah di Jalan Tengkuruk, RS Charitas, Pasar Cinde, dan kawasan Baguskuning, Plaju saat ini. Sejak dahulu, kawasan Tengkuruk merupakan pusat perbelanjaan dan permukiman yang menjadi basis markas Barisan Pemberontak Republik Indonesia (BPRI).
Sementara pusat pertahanan prajurit Belanda di Benteng Kuto Besak (BKB), berjarak sekitar lima ratus meter dari Jalan Tengkuruk.
"Pejuang Indonesia yang dipimpin oleh Letnan Djoko itu berposisi di situ, memberikan perlawanan terhadap Belanda di sekitar Benteng. Letnan Djoko gugur dalam pertempuran hari pertama sehingga dibuatlah tugu di situ," ujar Syafruddin.
"Tugu pertempuran lima hari lima malam selain ada di situ, juga ada Tugu Kapten Abdullah di Baguskuning Plaju, Tugu Tank di depan Pasar Cinde, dan Tangga Buntung," sambungnya.
Tugu 5 Hari 5 Malam kini bak tak diperdulikan. Tak lepas dari posisinya yang kian sulit dijamah oleh pandangan masyarakat. Pembangunan light rail transit (LRT) Palembang untuk perhelatan Asian Games 2018 jadi penyebabnya.
Bila melintas di Jalan Tengkuruk Permai, orang tidak akan bisa melihat tugu tersebut karena terhalang bangunan Ruang Baterai LRT Palembang.
Masyarakat harus turun dari kendaraan, berjalan memutar ke bagian belakang Ruang Baterai LRT. Tugu berdempetan dengan ruang tersebut dan diapit oleh Jembatan Ampera.
Lokasi tersebut pun cenderung tersembunyi. Menjadi tempat nongkrong sebagian warga yang beraktivitas di pasar dan membuang sampah-sampah botol dan plastik yang tidak diangkut.
Tugu hanya bisa dilihat apabila masyarakat berjalan kaki di atas Jembatan Ampera, merapatkan badan ke pagar pembatas dan menengok ke bawah. Jika menumpang LRT dan berhenti di Stasiun Ampera, harus turun menggunakan tangga penghubung yang mengarah ke Pasar 16 Ilir.
Tugu itu kini ditinggikan. Dari mulanya tiga meter, sekarang ditambah undakan tangga menjadi sekitar lima meter. Ditambah lampu sorot di atasnya yang menyala pada malam hari. Namun, tetap saja sulit dilihat karena lokasinya yang tersembunyi.
 Foto: CNN Indonesia/Hafidz Tugu 5 Hari 5 malam di Palembang yang dibangun untuk mengenang pertempuran sengit melawan Belanda kini semakin terabaikan. |
Selain tugu di Jalan Tengkuruk Permai, tugu-tugu yang memperingati pertempuran itu pun tak kalah miris. Syafruddin mengungkapkan, tugu di Baguskuning Plaju dan Tangga Buntung jauh dari perhatian pemerintah.
Sementara Tugu Tank yang dulu sangat ikonik di depan Pasar Cinde dan tepat di tengah kota, dipindah ke Museum Monumen Perjuangan Rakyat (Monpera). Dilakukan saat pembangunan besar-besaran menjelang SEA Games Palembang 2011 lalu digantikan dengan monumen bola dunia.
Syafruddin menilai, seharusnya pemerintah memperhatikan kelestarian monumen-monumen bersejarah. Bukan hanya soal fisik tugu, tetapi nilai sejarahnya yang harus dilindungi.
Pemerintah Kota Palembang, ujar Syafruddin, tidak paham mengenai pentingnya sejarah pertempuran ini bagi generasi muda.
"Pemerintah sendiri kurang kesadaran sejarahnya. Padahal ini pertempuran besar di Palembang. Salah ini karena pemerintah cara berpikirnya terlalu bisnis," kata Syafruddin.
Dia berharap pemerintah lebih memperhatikan aspek sejarah dan nilai nasionalisme yang ada di tugu-tugu tersebut.
Jangan hanya berpikir dampak pariwisatanya saja, namun juga penanaman nilai patriotik bagi generasi muda yang tidak mengetahui peristiwa perjuangan di masa lampau.
"Peringatan tentang pertempuran ini pun tidak ada. Harusnya ada peringatan, bentuknya apa pun boleh. Misal upacara, atau kegiatan apapun yang menanamkan nilai-nilai nasionalisme," kata Syafruddin.