Memasuki tahun ketujuh kepemimpinan Presiden Joko Widodo, desentralisasi kekuasaan dinilai tergerus perlahan akibat penarikan beberapa kewenangan daerah. Hal itu dianggap memicu peningkatan potensi korupsi.
Resentralisasi alias pemusatan kembali kekuasaan ke tangan pemerintah pusat tercermin dalam sejumlah produk legislasi. Pertama, pengesahan revisi Undang-Undang tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) yang mengubah setidaknya 15 pasal terkait kewenangan daerah mengelola tambang.
Misalnya, Pasal 4 ayat (2) yang semula menyebut penguasaan mineral dan batubara diselenggarakan oleh pemerintah daerah kini menjadi diselenggarakan oleh pemerintah pusat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain itu, UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Minerba itu juga menghapus Pasal 7 dan 8 yang mengatur rincian kewenangan pemerintah provinsi, kabupaten, dan kota dalam mengelola mineral dan batubara.
Kedua, pengesahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, tak lama setelah pengesahan UU Minerba. Omnibus Law itu juga memangkas sejumlah kewenangan pemda, mulai dari urusan tambang hingga pajak.
Misalnya, Pasal 17 UU Cipta Kerja yang mengubah pasal 9 dan 10 UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Penataan ruang sepenuhnya jadi kewenangan pemerintah pusat. Pemda hanya menjadi pelaksana apa yang telah ditentukan pusat.
Kemudian, pemerintah daerah juga didikte dalam penentuan peraturan daerah. Pasal 175 UU Cipta Kerja menambahkan Pasal 402A pada UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Pasal baru itu menyebut semua urusan konkuren (urusan yang dibagi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah) harus dibaca dan dimaknai sesuai dengan ketentuan UU Cipta Kerja. Seluruh aturan pemda harus sesuai kandungan nilai UU Cipta Kerja.
Ketiga, pengesahan revisi Undang-Undang Otonomi Khusus Papua. Pasal 76 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otsus Papua memberi wewenang kepada pemerintah pusat untuk melakukan pemekaran provinsi, kabupaten, atau kota. Hal itu bisa dilakukan dengan dalih menyejahterakan masyarakat Papua.
Pada UU Otsus Papua sebelumnya, pemekaran wilayah di Papua bukan wewenang langsung pemerintah pusat. Pemekaran harus melalui persetujuan Majelis Rakyat Papua dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua.
Keempat, penerbitan Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2021 tentang Pemberian Persetujuan Presiden terhadap Rancangan Peraturan Menteri/Kepala Lembaga. Aturan baru itu mewajibkan setiap aturan menteri wajib mendapat persetujuan presiden.
Peneliti politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) SitiZuhro menilai desentralisasi, yang mulai diterapkan bertahap sejak pemerintahan Presiden keempat RI Abdurrahman Wahid, kini sudah tidak bersisa di era Presiden Jokowi.
"Saya mengistilahkan tidak tersisa ini desentralisasi kewenangan. Yang ada cuma administrasi. Jadi, itu pembantuan saja yang ditugaskan [ke pemerintah daerah]," kata dia, saat dihubungi CNNIndonesia.com, Selasa (19/10).
Ia menyayangkan pemangkasan desentralisasi menjadi sebatas hal-hal administratif. Sebab, menurutnya, meski belum sempurna, desentralisasi penting untuk mendorong pembangunan di daerah. Menurutnya, desentralisasi digagas supaya daerah punya payung untuk mengembangkan dirinya sendiri.
Bersambung ke halaman berikutnya...