Vincent berkisah, suatu waktu pernah kesulitan memperoleh hak cuti keluar lapas untuk menghadiri pemakaman ibundanya.
"Itu saya sempat enggak dikasih tahu, saya baru dikasih tahu dan itu pun pihak dari (binmaswan) karena ada yang kenal saya cuma bisa video call mengupayakan untuk keluar hak cuti mengunjungi keluarga, itu saya enggak diperbolehkan (keluar lapas) karena posisi saya masih semuanya penuh luka semua," paparnya.
"Jadi hak saya untuk mengantarkan mama saya waktu meninggal itu juga enggak bisa dan saya di sel kering itu hampir 5 bulan," sambungnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selama lima bulan itu pula ia tak pernah diizinkan menghubungi anggota keluarganya. Ia hanya diberikan kesempatan melakukan panggilan video guna mengabarkan bahwa kondisinya baik-baik saja.
"Kan saya titip pesan sama teman yang bebas. Tolong cariin keluargaku, tolong diomongin kamu lihat di sini itu (penyiksaan). Akhirnya dapat laporan itu, tapi mereka (lapas) menyangkal, bisa ditelepon, suruh video call, disuruh bilang sama keluargamu kalau kamu baik-baik saja," katanya.
Ada pula salah seorang rekannya yang meninggal akibat penyakit paru-paru bawaan. Kata Vincent, rekannya itu tak pernah diizinkan belanja kebutuhan makanan dan selalu terlambat mendapat obat-obatan. Bahkan, menurutnya, terkesan dibiarkan.
Sementara Yunan Afandi mengaku sampai mengalami cedera kaki berkepanjangan buntut penyiksaan plus terlalu lama dikurung di ruang isolasi.
"Ada saya dua bulan enggak bisa jalan. Dipukul daerah kaki pernah, kalau mukul ngawur. Tapi saya rasa sel kurang gerak ruangan kecil. Fasilitas 5 orang, itu pernah diisi 17 orang, cuma tidur miring," katanya.
Seniman tato itu mengaku menghuni Lapas Pakem sejak 2017 silam dan baru bebas tahun ini. Penyiksaan ia alami di penghujung masa kebebasannya.
"Selama 2017 sampai 2020 enggak ada penyiksaan. Setelah ada penyiksaan, di kamar ada saja ember dipukulin. Petugas tanya ember dari mana, padahal dia yang ngasih. Tidur enggak pakai alas. Baju cuma satu," ungkapnya.
Anggara Adiyaksa, aktivis hukum yang ikut mendampingi pelaporan ke ORI menyebut ada setidaknya 35 mantan warga binaan yang mengaku jadi korban dugaan penyiksaan di Lapas Narkotika Pakem.
"Yang berani (buka suara) 35 orang. Ada yang masih trauma juga," tuturnya.
Dia menyebut kedatangan Vincent dan rekan-rekannya ke Ombudsman demi menyudahi segala bentuk kekerasan yang terjadi di dalam Lapas Pakem.
Ketua ORI Perwakilan DIY Budhi Masturi menerangkan, apa yang disampaikan para mantan warga binaan ini baru sebatas aduan. Pihaknya meminta Vincent cs membuat laporan resmi guna ditindaklanjuti Ombudsman.
"Mereka lagi mempersiapkan laporannya dan itu sesuai dengan SOP kita. Kita akan meregistrasi dan verifikasi secara formil dan materiil baru setelah itu kita bisa menentukan langkah-langkah klarifikasi dan sebagainya," katanya.
Kepala Divisi Pemasyarakatan Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) DIY Gusti Ayu Putu Suwardani mengaku belum mendapat laporan terkait dugaan penyiksaan di Lapas Pakem. Namun ia memastikan pihaknya bakal tak tinggal diam.
Dia turut menegaskan bahwa segala bentuk kekerasan di dalam lapas tidak diperkenankan dilakukan oleh petugas apapun alasannya.
"Nah ini yang harus kita selidiki lebih lanjut, kita tidak bisa juga mendengar 'katanya'. Tapi saya akan turun langsung hari ini saya akan turun langsung seperti apa ceritanya, kebenarannya," katanya saat dihubungi.
(kum/gil)