Manusia Trotoar, Ramadan dan Rezeki dari Markas Kopassus
Wanita berkerudung panjang itu tampak duduk menyendiri. Di sampingnya, ada bocah kecil dan beberapa orang lain namun gelagatnya seperti tak saling kenal.
Oliv (33), wanita asal Brebes yang memilih tinggal di Terminal Kampung Rambutan, Jakarta Timur, demi mendulang uang dari hasil memilah sampah.
Sudah delapan tahun Oliv tinggal di terminal. Kesehariannya yaitu keliling Jakarta Timur mulai dari Terminal Kampung Rambutan, Ceger, hingga Bambu Apus.
Ia selalu ditemani anaknya yang paling kecil. Anak sulungnya terpaksa ditinggalkan di kampung halaman agar tak turut hidup susah bersamanya.
Pendapatannya dari hasil memulung tak pernah menentu. Terkadang, bila hasil memulungnya sedikit, ia harus rela mengumpulkan terlebih dahulu demi mendapat nominal yang lumayan.
Namun, bila sudah terhimpit kebutuhan, ia terpaksa menjualnya berapa pun hasil yang diperoleh.
"Yang penting setiap harinya ada buat makan, buat jajan bocah," ujarnya.
Bulan Ramadan merupakan bulan yang penuh berkah bagi Oliv. Di bulan suci ini, Oliv biasa nongkrong di pinggir jalan Cijantung, Jakarta Timur dekat Markas Kopassus. Tujuannya satu yaitu untuk mendapat belas kasih dari anggota militer maupun pengguna jalan.
Oliv mengaku kerap diberikan makanan dari para pejalan ketika sahur. Oliv, suami, dan anaknya sering mendapat nasi, lengkap dengan lauk-pauknya.
Menjelang magrib juga menjadi waktu yang paling ditunggu-tunggu Oliv. Ia akan duduk setia di pinggir trotoar, berharap ada yang memberinya takjil maupun nasi untuk berbuka.
Iya, Oliv merupakan satu pemulung yang rajin berpuasa. Puasanya selalu full, kecuali bila sedang datang bulan.
"Kalau enggak ada halangan ya puasa. Soalnya kan ngajarin anak juga," suaranya terdengar lemah.
Oliv tak muluk. Ia senang-senang saja bila diberikan makan alih-alih uang. Menurutnya, rezeki itu sudah diatur oleh Tuhan.
"Aku mah terserah yang ngasih. Kan rezeki katanya udah diatur sama Allah. Jadi apa aja dikasih, disyukuri aja," ucapnya.
Ia juga bukan orang yang pelit. Bila sedang dapat makanan lebih, Oliv bakal membagikannya ke tetangga.
Karena prinsipnya, susah-senang harus dijalani bersama.
Pada Lebaran tahun ini, Oliv juga mengaku tak bisa pulang menemui anaknya. Terhitung, sudah tiga kali lebaran ia tak mengunjungi anak dan ibunya di kampung.
Rindu tentu saja. Sebab, di Jakarta ia hanya tinggal tinggal bersama keluarga kecilnya, tanpa sanak saudara lain. Itu pun di terminal bus.
Mengisi momen Lebaran kali ini, tak banyak kegiatan yang bakal dilakukan Oliv. Setelah Salat Ied, ia berencana halalbihalal ke tetangga, lalu kembali memulung lagi.
Sebetulnya, ia dan suami sama-sama bekerja. Namun, pendapatan sang suami tak lebih dari Rp10 ribu tiap mencari nafkah.
Kondisi ekonomi Oliv nyatanya tidak serta merta mendorong pemerintah mengulurkan tangan. Oliv berujar, dengan KTP non-Jakarta yang dimilikinya, ia tak pernah mendapatkan sembako.
"Soalnya kalau pemerintah kan harus KK Jakarta. Harus KTP Jakarta. Sedangkan aku masih [KK dan KTP] kampung. Kadang-kadang tetangga pada dapat sembako ini-itu, aku cuma dengerin doang," katanya.
"Paling ngandelinnya di jalan doang," ucapnya.
Tak jauh berbeda, Wati (40), turut merasakan hal yang sama. Wanita yang sehari-hari berdagang asongan itu mengaku tak pernah diberikan bantuan oleh pemerintah.
Alih-alih dibantu, ia justru dikejar-kejar oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP). Meski begitu, ia selalu lolos dari tangkapan petugas.
Bulan Ramadan bagi Wati sama halnya dengan Oliv yang sering mendapatkan makanan gratis.
Bahkan, ia tak malu-malu mengaku senang karena tak perlu beli makanan untuk sahur dan berbuka.
"Ya lumayan, sahur enggak bayar," ujarnya.
Ketika mendapat makanan lebih, Wati lebih senang menyimpannya sendiri. Makanan itu ia simpan untuk dipanaskan kembali esok.
Kata Wati, makanan yang lama bisa dibumbui lagi biar terasa segar.
"Kalau bisa kita cuci, dibumbuin lagi, beli bumbu. Pakai air hangat. Kan dipisahin tuh. Taruh freezer. Entar di cuci pakai air hangat ya dimasak lagi. Dikecapin," tutur dia tertawa.
Sama seperti Oliv, wanita yang kerap tidur menumpang di angkot parkir itu juga tak pernah absen dari Kopassus. Tiap Ramadan, ia sengaja setor muka di kawasan Militer demi mendapat bantuan uang.
Dari TNI, ia biasa menerima Rp20 ribu. Pedagang asongan sepertinya justru paling sering dibantu TNI.
Saat lebaran nanti, Wati juga tak berencana libur maupun mudik. Ia hanya akan berdagang tisu seperti biasa di lampu merah.
Ketika ditanya soal mudik gratis pemerintah, Wati mengaku tak berkeinginan pergi. Sebab, cita-citanya saat ini bukanlah mudik, melainkan ingin cepat-cepat menikah.
"Enggak. Pingin nikah saja," ujarnya tersipu-sipu.