Kalau untuk prestasi jelas Olimpiade 2000 adalah capaian terbaik saya. Harusnya saya dapat emas waktu itu.
Dalam setahun itu kan kita harus mengumpulkan poin untuk Olimpiade. Saya dari 1999-2000 itu tak tergoyahkan, peringkat saya di puncak. Tapi memang kalau di Olimpiade itu ada saja halangan, siapa pun pernah mengalami angkernya Olimpiade.
Yang biasa juara, bisa enggak jadi juara. Begitupun sebaliknya. Yang biasanya enggak juara, malah bisa jadi juara. Olimpiade diadakan setiap empat tahun sekali dan pasti ada yang seperti itu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saya waktu itu berpikir optimistis saja. Tetapi ketika masuk semifinal saya sudah merasa ada yang aneh karena nyaris kalah dari pasangan Inggris Simon Archer/Joane Goode. Set pertama kalah 2-15, set kedua hampir kalah, tapi akhirnya menang 17-15, dan menang 15-11 di set ketiga.
Menang di semifinal membuat banyak orang menjagokan saya dan Minarti yang merupakan unggulan pertama. Lawan dari China, Zhang Jun/Gao Ling, itu kita bertemu kira-kira enam kali dalam satu tahun dan mereka tidak pernah bisa dapat lebih dari empat atau lima poin dalam setiap pertandingan.
Di Olimpiade 2000 ada tiga wakil Indonesia di final. Ganda campuran, ganda putra (Tony Gunawan/Chandra Wijaya), dan tunggal putra (Hendrawan). Dari tiga peluang itu, ganda campuran sudah dibilang orang-orang pasti dapat emas.
Set pertama menang 15-1. Set kedua sudah unggul 13-8 atau 13-9. Ternyata kami kekunci di angka 13 dan kalah 13-15.
Itu saya enggak habis pikir. Mungkin saya waktu itu terlalu nafsu, terlalu buru-buru, ingin cepat-cepat karena situasi pada waktu itu. Sementara lawan justru semakin yakin dan selalu bisa dapat poin. Itu lah kendala orang-orang di Olimpiade, semakin disoraki semakin nafsu. Padahal kita seharusnya mesti sabar.
![]() |
Pas rubber set game ketiga, pelatih saya kak Richard Mainaky ngomong, "Udah tahan aja, gimana caranya elo tahan aja."
Saya tahan terus dan hasilnya kalah, skor set ketiga 11-15.
Selesai pertandingan sebenarnya saya masih memiliki harapan meraih emas meskipun kalah, yaitu lewat tes doping. Saya berharap lawan enggak lolos tes doping, hahaha.
Biar bagaimana pun itu adalah harapan. Tetapi, setelah tes doping berlangsung doa saya tidak dikabulkan dan rezeki saya memang perak olimpiade.
Berat hati saya merelakan lawan mendapat emas. Tetapi memang lawan layak. Dari hari pertama mereka bermain bagus, waktu itu mereka juga mengalahkan Kim Dong Moon/Ra Kyung Min yang merupakan salah satu pasangan kuat di babak perempat final.
Saya harus ikhlas, tetapi kekalahan Olimpiade benar-benar memukul saya. Rasa penyesalan itu tetap ada bertahan di dalam diri sampai seminggu, bahkan sampai pulang ke Indonesia pun masih teringat terus. Makanya dulu itu saya malas nonton rekaman video pertandingan itu karena bikin sakit hati, hahaha.
Catatan lain di karier saya yang cukup mengesankan juga adalah di Piala Thomas 2002. Indonesia waktu itu kekurangan pemain. Kalau tidak salah waktu itu PBSI yang dipimpin pak Chairul Tanjung mau memanggil Tony Gunawan dari Amerika Serikat, namun gagal.
Kemudian saya dipanggil memperkuat tim Thomas. Saya tahun itu memang main rangkap. Selain masih main di ganda campuran bersama Emma Ermawati, juga main di ganda putra dengan mas Bambang Suprianto.
Dipanggil ke tim Thomas, saya punya prinsip. Saya di ganda campuran, sehingga kalau mau panggil saya harus bersama pasangan saya mas Bambang Suprianto. Karena saya dan mas Bambang kan bareng di ganda putra dan pada 2001 saya juga pernah juara Asia sama mas Bambang mengalahkan Tony/Candra Wijaya.
Pada saat itu pak Chairul memanggil saya dan menjelaskan bahwa tim membutuhkan saya. Saya pun mengaku siap dan tidak keberatan, tetapi dengan satu syarat asalkan pasangan saya ikut. Ternyata syarat tersebut direstui.
Untuk bermain saya tidak masalah dengan siapa pun. Siap dipasangkan dengan siapa saja. Buktinya di Thomas Cup 2002 saya dipercaya main terus dengan Halim Haryanto.
Di final, lawan Malaysia, saya juga main bareng Halim. Waktu itu posisinya di final Marleve Mainaky yang main tunggal pertama kalah, Candra Wijaya/Sigit Budiarto menang, dan Taufik kalah. Padahal Candra/Sigit dan Taufik waktu itu jadi andalan meraih poin bersama dengan Hendrawan yang main di partai kelima.
Ketika Taufik kalah, tim Malaysia unggul 2-1 dan sudah peluk-pelukan. Merasa sudah pasti menang dan pada partai keempat saya dan Halim tidak diperhitungkan melawan Choong Tan Fook/Lee Wan Wah. Saya cuma ngomong sama Halim agar tidak usah berpikir banyak yang penting main sebaik mungkin. Saya beranggapan yang penting kita berusaha dulu.
Kalau kata orang-orang, saya mainnya kayak setan pas di final. Jadi waktu itu memang saya merasa terus menerus mengejar kok, kemanapun kok diarahkan. Akhirnya kami menang dan terakhir Hendrawan menang.
Itulah catatan yang menyenangkan, saya sebagai satu-satunya pemain ganda campuran yang bisa menang Piala Thomas. Ya Alhamdulillah berarti saya tidak menyia-nyiakan kesempatan yang diberikan kepada saya.
(har)