Jakarta, CNN Indonesia --
Kemenangan di kejuaraan tenis meja tingkat senior di Kediri pada 2000 membuat saya terharu. Betapa tidak. Saya menjadi juara pada kejuaraan di mana pemain-pemain terbaik Indonesia turun: Anton Suseno, Ismu Harinto, Deddy Dacosta, ada Arkam juga.
Di kejuaraan nasional itu saya tidak diunggulkan. Di babak grup saya bertemu Jopie Warsono, pemain bagus juga. Lalu di final saya mengalahkan Ismu Harinto 3-1.
Kemenangan itu membuat saya senang, terharu bisa juara se-Indonesia. Saya memiliki keterbatasan fisik dari lahir, tapi bisa juara.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kemenangan itu juga tidak lepas dari peran pelatih bernama Mas Rozi. Dia yang mendorong saya berlatih lebih keras lagi.
"Kalau yang lain latihan 2-3 jam, kamu harus lebih dari itu, apalagi kamu punya keterbatasan fisik," kata Mas Rozi.
Mas Rozi benar. Untuk menjaga keseimbangan saja saya masih kurang, karena tangan kanan saya cacat dari lahir. Jadi benar-benar harus latihan keras. Selain teknik, latihan fisiknya juga harus luar biasa.
Kaki-kaki saya harus dikuatkan, harus dikasih porsi latihan yang lebih lagi. Agar saya bisa bersaing di tingkat senior, saya benar-benar ditempa latihan fisik dan teknik.
Meski baru juara nasional, apalagi setelah bersaing dengan atlet umum, saya tidak merasa dendam kepada orang-orang yang pernah meremehkan saya. Tapi lebih ke motivasi untuk menunjukkan, kalau saya bisa, saya mampu.
[Gambas:Video CNN]
Setelah juara di Kediri, muncul pengumuman saya masuk tim yang berangkat ke Kejuaraan Dunia. Kejuaraan di Kediri itu jadi titik tolak bagi karier saya.
Sebelum turnamen itu digelar, sudah ada pengumuman nama-nama pemain yang akan diberangkatkan ke Kejuaraan Dunia. Mulai dari Anton Susesno, Ismu Harinto, dan Deddy Dacosta. Satu nama lagi saya kurang tahu.
Kejuaraan Dunia itu jadi event pertama saya setelah masuk pelatnas. Setelah masuk saya ikut pemusatan latihan dan berangkat ke Kejuaraan Dunia.
Saya di Timnas senior itu dari 2000 hingga 2009. Sejak itu saya mengikuti seleksi dan masuk ke Timnas, untuk SEA Games atau event lain.
Selama di Timnas dan di kategori umum, saya banyak tampil di nomor ganda putra. Saat saya bermain tunggal, prestasi saya tidak sebagus ketika ganda.
 Meski memiliki keterbatasan fisik, David Jacobs meraih sejumlah prestasi di kategori umum. (ANTARA FOTO/Aprillio Akbar) |
Saya pernah meraih medali perak dan perunggu SEA Games. Pernah juga juara di SEATTA (Asia Tenggara) 2002 bersama Yon Mardiono. Di PON 2004 saya juga juara ganda putra bersama Zainudin. Pernah bermain single di PON 2008, tetapi tidak juara, cuma dapat perunggu. Sedangkan untuk ganda beberapa kali saya juara PON.
Sampai akhirnya setelah lama ikut di Timnas Indonesia, akhirnya saya berpikir mundur. Banyak faktornya, mulai dari prestasi yang kurang lebih hanya sampai Asia Tenggara. Sudah mencoba berbagai macam cara latihan tapi levelnya segitu saja.
Saya mundur dari Timnas Indonesia pada 2009, tapi belum terpikirkan masuk kategori para (disabilitas). Saya juga ingat. Sewaktu latihan di China pada 2007, pelatih dari China kasih tahu saya, kalau saya harus ikut latihan di olahraga disabilitas.
Saat itu pelatih Timnas Indonesia Bobby Regar juga dikasih tahu oleh pelatih asal China ini. Dia yakin prestasi saya bisa masuk level dunia jika tampil di tenis meja disabilitas.
 David Jacobs banyak berprestasi di ganda putra, salah satunya dengan Yon Mardiono. (AFP/BAY ISMOYO) |
Setelah itu tidak ada lagi pembicaraan soal saya ke disabilitas. Pembicaraan tentang saya ke disabilitas itu baru ada lagi pada 2010, ketika saya bertemu dengan Pak Bobby di Jakarta. Sejak itu saya mulai tertarik.
Yang membuat saya tertarik adalah saya jadi atlet karena ingin bisa sampai ke Olimpiade, tetapi itu tidak kesampaian ketika saya di kategori umum.
Sewaktu bersaing di kategori umum, saya tidak pernah bisa lolos Olimpiade. Nah ini ada kesempatan di para, apa salahnya saya coba sampai lolos ke Olimpiade (Paralimpiade). Itu saja tekad saya awal masuk para.
Akhirnya saya bertemu Pak Welly, beliau Ketua Paralimpiade DKI Jakarta. Kata beliau, kalau melihat kondisi fisik, saya ini masuk kelas 10.
Tetapi waktu itu belum dites. Baru dilihat secara fisik saya dibilangnya dimasukkan ke kelas 10, kelas paling rendah.
Pak Welly akhirnya ajak saya ke Solo bertemu Pak Senny Marbun (Ketua NPC). Ternyata Pak Senny masih mengetes saya juga. Mungkin saat itu beliau enggak tahu kalau saya pernah jadi pemain Timnas Indonesia.
Waktu di Solo saya dites melawan pemain-pemain di sana. Saya sempat berpikir, kan saya pernah jadi pemain Timnas Indonesia, kok masih dites juga.
Pak Senny lalu bilang, permainan saya bagus, bisa menang lawan pemain-pemain Solo. Saya akhirnya dimasukkan ke tim para tanpa seleksi.
Turnamen pertama saya di para itu Asian Para Games 2010 di Guangzhou, China. Waktu ikut Asian Para Pames Desember 2010, dalam pikiran saya ada perasaan sombong, pasti akan kemungkinan juara.
Ternyata pas saya bertanding di sana, atlet-atlet para ini ternyata banyak juga yang bagus-bagus, terutama atlet-atlet China, kalau atlet negara lain tidak sebagus China. Padahal sewaktu saya latihan di China tidak pernah dengar kabar mereka, mungkin karena tempat latihannya berbeda.
Di Asian Para Games 2010 saya dapat perunggu, kalah dari pemain China di semifinal, waktu itu bermain di nomor tunggal. Medali itu jadi yang pertama bagi Indonesia di cabang tenis meja dan di level Asian Para Games.
Setelah dari Asian Para Games 2010, saya bertanya kepada teman yang orang Malaysia soal cara bisa tampil di Paralimpiade. Karena setelah Asian Paragames 2010 ada Paralimpiade 2012 di London, Inggris.
Ternyata, di para itu juga banyak kompetisi terbuka di luar sana untuk bisa mendapatkan poin dan peringkat ke Paralimpiade. Pada 2011 itu saya mulai mengejar poin untuk mendapatkan peringkat dunia agar bisa ke Paralimpiade 2012.
Setiap tahun sekitar 15 sampai 16 turnamen terbuka digelar guna mencari poin dan peringkat dunia. Waktu 2011, saya hanya ikut sekitar 6 turnamen agar bisa ke Paralimpiade 2012. Yang saya ikuti juga hanya yang dekat-dekat saja, seperti di Thailand, di China, di Taiwan.
Dulu NPC itu, pada saat saya mulai bergabung pada 2010 belum terlalu diperhatikan pemerintah seperti saat ini. Saya harus mencari sponsor sendiri, cari tiket sendiri, berangkat juga sendiri.
Saat itu belum ada dukungan dari pemerintah, tidak ada sama sekali. Cuma waktu itu untuk mendaftarkannya memang lewat NPC.
Sementara, saya bercita-cita ikut Paralimpiade. Tapi kalau saya tidak ikut turnamen terbuka ini, peringkat saya enggak bakalan cukup untuk sampai ke Paralimpiade.
Setelah ikut turnamen terbuka yang dekat-dekat itu poin saya masih kurang juga. Meskipun di setiap turnamen tersebut hasilnya cukup bagus, poin dan peringkat saya naik terus.
Nah yang dua terakhir itu ada turnamen di Inggris dan Republik Ceko. Saya bisa ke sana karena bantuan dari orang lain yang memberikan sponsor.
Dulu waktu saya masih bermain di kategori umum, saya banyak kenalan di klub ini, di klub itu. Saya ngobrol dengan mereka sambil memberikan proposal. Setiap bertanding ke luar negeri pakai kaus mereka, untuk mempromosikan saja.
[Gambas:Video CNN]
Akhirnya hasil yang di Inggris dan Ceko pun bagus. Saya bisa sampai di peringkat ke-11 dunia dan lolos ke Paralimpiade 2012 di London. Ketika itu limit ke Paralimpiade hanya sampai peringkat 14, ditambah 2 lagi wild card, jadi 16 peserta.
Hasil itu cukup memuaskan, karena saya memulainya dari peringkat 40, lalu ke-29, naik lagi ke-25, sampai akhirnya di peringkat 11. Karena di Paralimpiade itu batas penghitungan peringkat hanya sampai akhir 2011 kalender, tidak seperti kategori umum.
Di Paralimpiade London itu hanya 4 orang perwakilan atlet dari Indonesia, salah satunya saya dari tenis meja. Pada 2012 itu saya bisa ikut Paralimpiade, Olimpiade yang saya impikan. Hasilnya juga luar biasa, saya membuat sejarah dengan meraih medali perunggu.
Sebenarnya target saya ingin lebih dari itu, tetapi saya bersyukur bisa dapat perunggu. Itu medali pertama Indonesia di Paralimpiade di semua cabang olahraga.
 David Jacobs selalu mendapatkan dukungan dari istri, Jeany, dan keluarga. (Arsip Pribadi) |
Setelah dari Paralimpiade 2012, kami (atlet para) mulai diperhatikan pemerintah. Sebenarnya pada saat ASEAN Para Games 2011 di Solo, pemerintah atau Kemenpora mulai memperhatikan prestasi atlet-atlet disabilitas Indonesia. Dan Organisasi NPC juga semakin hari semakin baik dan lebih maju kinerjanya.
Saya ikut lagi di Paralimpiade 2016 di Brasil, tetapi kalah. Di Asian Paragames 2014 di Incheon, Korea Selatan, saya dapat medali emas. Di Asian Paragames 2018 di Jakarta juga dapat emas. Kalau di ASEAN Para Games, saya selalu dapat emas, semuanya di nomor tunggal putra.
Saat ini saya juga sedang menjalani persiapan ke Paralimpiade 2020 di Tokyo. Meskipun diundur, tetapi pelatnas di Solo masih jalan terus.
Kalau dibandingkan dengan kategori umum di cabang tenis meja, atlet para tenis meja ini memang lebih bagus prestasinya, cuma kurang diekspos saja. Saya melihat atlet di cabang lainnya juga kurang terekspos.
Padahal tidak mudah dengan keterbatasan fisik seperti ini, kami bisa berprestasi. Bagi generasi muda juga harus melihat, saat ini kami memberi contoh semangat. Mungkin ada anak-anak kecil yang punya keterbatasan fisik juga, jadi mereka harus bisa semangat tidak minder dengan keadaannya.
Saya juga pernah bertanding dengan minder, waktu itu karena merasa dilecehkan lawan. Ketika itu masih di kategori umum, baik di level junior dan senior pernah dilecehkan.
Yang saya ingat sewaktu mewakili Indonesia di tingkat senior. Ada pemain-pemain yang melihat kondisi saya, mereka tertawakan. Karena mungkin waktu itu saya masih awal-awal masuk timnas, jadi masih minder. Permainan saya juga belum terlalu maksimal karena masih kurang pede.
Tetapi setelah 2 tahun, saya mulai percaya diri saja. Kalau kalah, memang karena kalah dan lawan lebih bagus, bukan karena saya kurang percaya diri. Yang pastinya teman-teman satu pelatnas, pelatih, juga orang tua terus mendukung dan memotivasi saya lebih percaya diri pada saat bertanding di luar negeri.
Saya harus keluar dari pikiran apa pun yang orang lihat, yang orang orang tonton. Saya harus menunjukkan walaupun dalam kondisi seperti ini, saya harus menunjukkan prestasi, bermain dengan kemampuan terbaik.
Orang tua yang mendukung penuh saya menjadi atlet tenis meja, meski saya punya keterbatasan. Mereka mendukung saya menjadi atlet tenis meja sejak kami tinggal di Batang, Jawa Tengah. Saat saya masih kelas 4 SD.
Orang tua saya selalu berpesan dan terus kasih motivasi, jangan lihat orang yang meremehkan kita. Justru hal itu membuat kita lebih semangat dan termotivasi berprestasi. Di samping itu juga pesan orang tua, selalu lakukan yang terbaik dan jangan lupa selalu bersyukur serta berdoa.
Yang terakhir, ucapan terima kasih kepada orang tua, istri saya Jeany dan anak-anak, semua pelatih, serta semua teman-teman yang telah mendukung saya selama ini, bahwa keterbatasan fisik ini justru adalah kekuatan saya. Puji syukur kepada Tuhan.